- Back to Home »
- Cerpen »
- [CERPEN] Duel
Posted by : Unknown
Kamis, 12 November 2015
Morning guyss... aku kembali nih..
Kesempatan kali ini aku mau ngeposting cerpen lagi..
Happy reading guysss.. ^_^
Duel
Bel
berdering, menggema di langit biru yang nampak cerah. Seluruh siswa kelas VII
dan VIII berhamburan. Mereka mencoba mendapat posisi pertama meninggalkan
kelas. Ribut dan berdesak-desak. Terdengar teriakan anak perempuan yang
histeris dan dramatis ketika terdorong-dorong bahkan ada saja yang saling
menginjak. Guru-guru yang sudah jelas bergabung dengan gerombolan anak tak
berperikesabaran itu hanya geleng-geleng dan berkali-kali memberi nasehat. Kemungkinan
kerongkongan guru-guru itu mulai kering karena tak satupun siswa yang
mengindahkan nasehatnya.
Berbeda
dengan adik-adik kelasnya yang terbilang agresif ketika mendengar bel,
anak-anak kelas IX telah pulang dengan damai tanpa ada kemacetan yang terkadang
membuat guru killer pun tak bisa berkutik. Jauh dari kemacetan itu, tepatnya di
koridor kelas IX yang berada di lantai tiga Meida sedang duduk lesu di depan laboratorium
fisika. Meida menari-narikan pensil dan penghapusnya secara bergantian pada
secarik kertas putih yang dipegangnya. Entah apa yang dikerjakan anak itu,
nampaknya sangat serius. Sesekali terlihat ia berkomat-kamit layaknya
menghafalkan berbagai mantra-mantra sihir lalu tiba-tiba ia mengisyaratkan rasa
frustasinya dengan membuang napasnya dengan berat.
“Hei, Da. Sendirian
aja, mau aku temenin?”, sapa Fera sambil menggandeng dua temannya, atau bahkan
lebih tepatnya em... anak buah mungkin.
“Eh, kamu Fer.
Thanks, ya. Tapi aku udah susah-sudah nyari tempat sepi begini, kalo kamu
gabung percuma kan?”, ungkapku dengan nada seramah mungkin berusaha menyuruhnya
meninggalkanku sendiri.
“Hehe, sorry.
Ngomong-ngomong lagi ngapain nih? Dari tadi aku perhatiin kok kaya marah-marah
nggak jelas. Hati-hati entar kesambet lo, Da.”
“Cuma lagi
menjalankan amanatnya si Arlin, aku nggak akan macem-macem kok.”
“Amanat dari si
killer itu? Kalo nggak salah buat nggantiin si Bian bukan?”, celetuk Rena yang
terkadang termasuk anak yang paling hapal breaking
news di SMP itu. Meida mengangguk.
“Kenapa nggak Arlin
aja yang nggantiin, Da? Dia kan ketua kelas dan bertanggung jawab sama masalah
gituan.”, tanya Fera ingin tahu. Meida mengangkat bahunya tanda tak mengerti.
“Tapi kan ini lomba
baca puisi, kalo nggak salah nih si killer itu anak yang pemalu tahu, atau
bahkan takut malu-maluin?”, sahut Rena yang sok tahu itu.
“Kamu tahu dari
mana, Ren? Jangan asal nyembur gitu kalo nggak jelas sumbernya.”, Hisa yang
dari tadi bermain hp itu tiba-tiba ikut nimbrug. Rena kalah telak.
“Trus, mana
puisinya, Da? Coba lihat dong.”, pinta Fera dengan senyum lebarnya. Meida
memperlihatkan secarik kertas yang putih bersih, hanya saja mungkin ketebalan
kertas itu sudah menipis. Bagaimana tidak? Dari tadi penghapus merah bergambar
angry bird itu telah menggilas berulang kali. Ketiga cewek di depan Meida itu hanya
berdecak dan menggeleng tidak percaya melihat kertas itu masih kosong kecuali
bagian ujung atas sebelah kiri yang bertuliskan ‘Meida Alina’.
“Loh, masih
kosong?”, kaget Rena.
“Ku kira kau sudah
selesai, Da. Berhubung tadi kan kelas bubar satu jam yang lalu. Apa tidak ada
satu bait pun yang kau ciptakan?”, sambung Hisa.
“Aku pengen bantu
kamu, Da.”, ucap Fera sembari melemparkan tatapan iba pada Meida.
“Aku nggak papa
kok, ini juga lagi nyari inspirasi. Dari tadi pikiranku lagi nge-blank, aku khawatir kalau Bian belum
sehat juga. Masa sudah satu minggu masih belum kelar sakitnya.”, jawab Meida
berusaha menyembunyikan rasa khawatir dan kesalnya karena mendapat tugas
dadakan dari ketua kelasnya yang killer itu.
“Cie mikirin
Bian.", goda Rena.
“Apaan sih. Aku
khawatir kalau sampe besok Bian nggak berangkat kali. So, itu berarti aku harus
ngejalanin perintah itu kan? Udah gitu puisinya belum jadi lagi.”, gerutu Meida
meratapi nasibnya dan sedikit merasa malu karena membuat teman-temannya itu
salah paham akan rasa khawatirnya pada Bian.
“Ok, sudah bulat
tekadku, Da! Aku mau bantuin kamu”, seru Hisa bersemangat.
“Tunggu-tunggu kamu
mau apa barusan? Bantuin Ida? Kamu baca puisi aja kaya orang kumur-kumur alias
nggak jelas, apalagi bantu buat. Bisa-bisa nanti yang keluar bahasa alien lagi.
Hahaha”, ledek Rena pada Hisa. Mereka pun tertawa mendengar pernyataan Rena.
“Siapa bilang mau
bantu buat. Aku mau bantu doa kali!”, tepis Hisa. Kini Hisa yang tertawa penuh
kemenangan dalam hatinya membalaskan ledekan Rena.
“Sssttt, kalian
berdua! Udah deh, kasian Meida. Bukannya dibantuin malah ribut sendiri. Tuh
konsentrasi Meida ilang gara-gara kalian.”, omel Fera pada kedua anak itu.
“Maaf, Da.”, ucap
mereka lemah. Meida hanya tersenyum dan mengangguk.
“Eh kita ada les.
Meida kami pulang dulu ya”, ucap Fera seraya beranjak dari lab fisika.
“Semoga cepet
ketemu Bian! Biar nggak nge-blank
terus. Haha”, sahut Rena dengan nada cekikikan.
“Konyol banget
doamu Ren!”, celetuk Ida pada Rena.
“Bye bye! Jangan
lupa bantuannya! Bantu doanya ya His!”, teriakku dari lantai tiga ketika
melihat mereka bertiga kini telah menginjakkan kaki di lapangan basket. Mereka
mengacungkan jempol serempak.
Suasanya kembali hening. Sama
seperti sebelum ketiga temannya itu menghampiri Meida. Gelisa dan takut, ibarat
salad yang tercampur kuat dengan mayones. Gelisah, karena puisinya belum saja
terlahir dari pikirannya. Juga takut, karena Bian teman akrabnya yang belum
juga kembali dari rumah sakit. Tidak ada yang tahu apa penyebab Bian masuk RS,
entah kecelakaan entah sakit dan masih ada entah-entah yang lainnya yang jelas
mengganggu pikiran Meida. Hanya desas desus yang ia dengar.
Hari nampak semakin sore. Meida
tidak menyadari banyak waktu terbuang lantaran pikirannya yang kacau. Ia juga
membiarkan dirinya sedari tadi seorang diri di depan lab itu tanpa seorang pun
yang menemaninya. Yap, Meida adalah anak pendiam yang sedikit cerewet pada
waktu tertentu saja. Menikmati kesendirian dengan pikiran yang entah berpusat
di mana, mungkin makanan Meida setiap hari. Namun, belakangan ini ia mulai
mengubah sikapnya. Ia berharap ia bisa bergaul dengan banyak anak lagi,
terutama tiga anak yang tadi sempat menghampirinya itu dan tidak ketinggalan
pula Arlin dan juga Bian.
Siapa yang menduga, Arlin si ketua
kelas killer itu memilih duduk dengan Meida yang sebenarnya adalah anak
pindahan ketika ia memasuki kelas VIII dibandingkan teman-temannya yang lain.
Ketika ditanya oleh orang-orang kepo yang berkeliaran di sekitarnya Arlin hanya
menjawab dengan santai ‘Kan orang killer harus berdampingan dengan orang
kalem’. Lucu memang anggapan Arlin itu, namun Meida perlahan menyadari sisi
lain dari Arlin. Setiap saat ketika duduk bersama Arlin, ia mulai yakin bahwa
sang ketua kelas itu sangat baik padanya. Hanya saja, jika perintahnya tak
terkabulakan ia akan marah besar. Meida tertawa ketika kenangan itu tiba-tiba
terlintas di pikirannya. Dan ia merasa hpnya bergetar, ternyata kakaknya telah
menjemput dan sedang menunggu di dekat halte depan SMPnya. Bergegaslah Meida
menuruni anak tangga dari lantai tiga ke lantai pertama, lelah memang.
“Sorry, kak. Tadi
di lantai atas.”, ucap Meida sambi nyengir memohon ampun pada kakaknya yang
telah memasang wajah judes.
“Eh, kak. Sore ini
kakak cantik banget nih.” namun kakaknya tak menanggapi rayuan Meida itu.
Ternyata sudah tidak mempan.
Dengan secepat kilat, Meida telah sampai
lalu masuk ke dalam area rumahnya yang luas itu. Luas dan sederhana penuh
dengan warna hijau yang diberikan rerumputan dan pohon-pohon di tamannya.
Nampak mamanya yang tengah menyirami bunga-bunga anggrek kesukaan Meida,
terutama yang warna putih. Tanpa membuang waktu, Meida segera menyapa mamanya
dan masuk ke dalam rumah dan berharap waktu yang tersisa untuknya masih banyak,
waktu untuk menyelesaikan puisi tentunya.
**
Namun apa daya, malam itu mati
lampu. Perasaan Meida semakin kalang kabut. Pagi-pagi yang sangat pagi, ia
bangun dan telah siap di depan meja belajarnya. Tidak ketinggalan secarik
kertas yang tak kunjung mendapat suplai tulisan itu. Pikirannya masih alot jika
pagi-pagi saja sudah dipaksa berfikir, walaupun ia terkenal sebagai anak cerdas
di SMPnya itu. Meida hanya berharap banyak supaya tulisan itu memiliki
inisiatif untuk muncul sendiri *hal yang
mustahil bukan?.
Jam weker bergambar angry bird itu telah
menunjukkan pukul tiga pagi lengkap dengan mata melototnya. Meida masih saja
berkutat dengan bolpoin itu yang mungkin sudah sesak napas karena Ida
mencengkramnya dengan kuat. Sesekali keringat Ida menetes karena saking
kerasnya ia berfikir untuk menuju garis final puisinya itu. Memilih tema
lumayan sulit, terlebih pikirannya sekarang masih kacau. Namun kekacauan
pikirannya itu, memberikan ide. Yap! Menjadi bahan membuat puisinya.
“Kegelisahan yang
berguna!”, desah Ida sangat lirih.
Tak butuk waktu lama seperti
sebelumnya, kini tangan Ida lihai memainkan bolpoinnya. Kata-kata yang
dituliskannya sangat bagus. Bagaimana tidak? Kata-katanya saja keluar dari
hatinya. Tentulah orang yang membacanya akan tersentuh dan seolah-olah ikut
merasakan apa yang dirasakan Ida, kehilangan!
Meida tersenyum sumringah semacam
orang menang undian ketika melihat deretan kalimat-kalimat puitis dengan judul
“Sahabat, Kau Hilang” itu. Jika ini siang hari, ia berniat berjingkrak-jingkrak
kegirangan. Namun, ia tahu diri dan tahu suasana. Jelas tak mungkin pagi-pagi
buta menimbulkan keributan. Siap-siap saja Meida mendengarkan ceramah kakaknya
yang hampir mirip amanat dari kepala sekolahnya yang panjang lebar. Meida
bergidik ngeri kalau hal itu sampai terjadi. Di tengah kegembiraannya yang
tiada tara itu, hpnya membunyikan dering yang membisingkan. Disambarnya hp yang
tergeletak di atas kasur. Tiba-tiba Meida tersenyum selebar mungkin melihat
nama yang ada di layar hpnya itu. Bian nelpon!
“Assalamu’alaikum. Halo,
Bi! Kamu udah sembuh? Kamu sakit apaan sih kok nggak sembuh-sembuh? Udah pulang
ke rumah belum? Oh ya, nanti kamu harus berangkat! Pokoknya harus, nggak ada
tapi-tapian! Karena kalo kamu nggak berangkat, bisa-bisa aku harus nggantiin
kamu. Udah puisinya baru kelar, nggak bagus-bagus amat pula*bohong. Aku tunggu lho, awas kalo nggak
berangkat!”, ucap Meida tanpa mempedulikan Bian untuk berbicara dulu. Entah
saking senangnya mendengar suara Bian, atau saking keponya seorang Ida mengenai
teman akrabnya itu.
“Wa’alaikumsalam. Hey,
selow mba bro. Langsung nyerocos aja. Haha lo kepo ya? Apa kangen sama gue?”,
terdengar jawaban Bian sangat jelas karena keadaan kamar Meida sangat sepi.
“Nggak
kangen-kangen amat sih. Makanya berangkat dong! Tugas numpuk, udah gitu kamu
yang nggak berangkat aku yang kena batunya. Aku jelasin lagi ya, tuh amanat
dari Arlin sekarang berpindah tangan. Aku yang nanggung semuanya, aku
bela-belain bangun tengah malem buat bikin tuh puisi, alhasil baru selesai dan
hasilnya kamu tahu sendiri kan.”, sekarang pembicaraan Meida mulai menjurus
pada sesi curhat.
“Jadi lo nggak mau
bantuin gue, Da?”, suara Bian mulai melemah. Meida yang mendengarnya mulai
salah tingkah *merasa bersalah. Dia
pun mencoba menemukan kata-kata yang pas untuk meluruskan kembali maksud omongannya
itu.
“Mau-mau aja sih,
malah mau banget, Bi. Hanya saja waktu tidak berpihak padaku. Andai aja si
Arlin nyuruh jauh-jauh hari, pasti akan kuterima tawarannya. Lah, dia baru
ngomong kemarin kok.”, tegasku dengan nada yang sedikit direndahkan.
“Tapi, kayak ada
yang salah deh dari omongan lo yang super panjang tadi. Puisinya lo bikin
sendiri? Ck ck ck, nggak kali, Da. Puisinya udah ada di Arlin. Waktu itu gue
udah sempet buat, tapi tinggal guenya besok sempet baca apa nggak.”, ekspresi
Ida berubah geram mendengar penuturan dari Bian barusan. Apakah Arlin berniat
mempermainkan Meida? Atau ada alasan lain yang logis?
“Oh, jadi kamu udah
buat. Ya nggak papa sih, itung-itung untuk mengasah kemampuan puitisku. Haha”,
sahut Ida berusaha tidak terlihat kesal.
“Tapi besok bawa
aja, siapa tahu bagusan punya lo. Tenang aja, setiap karya pasti ada
harganya.”, suara Bian terdengar seperti guru BK sedang menasehati muridnya yang
suka berulah. Ida mengangguk tanpa sepengetahuan Bian.
“Ya udah, Bi. Kamu
istirahat aja, tapi inget! Nanti kalo kamu nggak muncul, awas aja!”, ancam
Meida yang nampak lebih menakutkan dari ancaman sang ketua kelas mereka.
“Siap, bos!”, Meida
hanya tertawa geli mendengar ucapan Bian yang layaknya sedang disuruh-suruh.
“Wassalamu’alaikum,
Da”
“Wa’alaikumsalam,
Bi”
Percakapan itupun berakhir cepat.
Namun, kini Ida sudah mendapat suatu kepastian. Bahwa puisi yang dibuatnya itu
hanya sedikit kemungkinan untuk dibacakan, dan juga orang yang sudah
ditunggu-tunggunya di kelas setiap hari, besok akan menyapanya seperti yang
terjadi satu pekan lalu.
**
“Hy, Da!”, sapa
Arlin dengan senyumnya yang sangat manis, yang terkadang hati Meida pun luluh
karenanya. Apalgi anak cowo?
“Hy, juga Lin.”,
Ida menjawab dengan lesu karena yang menyapanya bukan Bian. Hal ini terjadi
mulai setengah jam yang lalu. Hampir seluruh teman sekelasnya menyapanya karena
posisi Meida yang seperti menghadang di depan pintu, yang mau tak mau temannya
harus memberikan sapaan. Namun, Meida hanya menyahutinya biasa saja.
“Kucel amat tuh
muka. Kaya aku dong, bersih, putih, tak berminyak, tak berjerawat. Layaknya
iklan garnier tahu.”, ledek Arlin masih berdiri di samping Meida.
“Hello, emang kamu
doang yang kaya pelaku iklan? aku juga kali. Aku before-nya kamu after-nya.
Haha”, inilah keistimewaan Meida. Pendiam, namun apabila sudah dekat akan
sangat mudah diajak bercanda walaupun dia sedang badmood.
“Ya udah, masuk
yuk, Da. Emang kamu mau sampai kapan ngetem di sini? Nggak lagi narik uang kas
kan?”, ajak Arlin yang tak sabar masuk ke kelas.
“Nggak juga sih. Ayo”,
balas Ida.
Mereka memasuki ruang kelas. Nampak Fera,
Rena, dan Hisa sedang piket. Usut punya usut yang piket hanya Fera. Namun
karena gelar ‘bos dan dua pesuruh’ sudah terlanjur diberikan teman-teman pada
mereka, maka apa yang bisa mereka perbuat? Di sinilah Fera mendapat keuntungan.
Meida dan Arlin terkadang masih bingung pada Rena dan Hisa. Mereka sempat salut
pada Rena dan Hisa. Bayangkan betapa setianya dua anak itu pada Fera, sungguh
terlihat seperti jaman-jaman kerajaan dahulu kala.
Tak berselang lama, pelajaran pun
dimulai. Meida belum mendeteksi tanda-tanda Bian di sekitarnya. Di sebelahnya,
Arlin tengah fokus mendengarkan Pak Rafi berceloteh. Ingin ia bertanya pada si
ketua kelas, namun ia tak ingin membuyarkan konsentrasi temannya.
“Lin! Lihat Bian?”,
tanyaku mencegat Arlin yang hendak ke perpus ketika waktu istirahat tiba.
“Nggak, Da. Emang
Bian udah berangkat ya?”
“Tapi, tadi di
papan absen tulisannya nihil kan?”, Meida berusaha memastikan.
“Yah, kamu ini. Itu
kan si Rena yang nggak sengaja nulis pakai spidol permanent. Apa kamu lupa?”,
jawab Arlin sedikit tertawa. Meida mulai paham.
Ok, sekarang Meida sedang dibuat
pusing. Mulai dari masalah lomba, Arlin yang menyembunyikan fakta bahwa
puisinya sudah ada, dan sekarang apa? Sampai istirahat pertama ini Meida merasa
ditipu oleh Bian. Tapi, ia masih berharap Bian tiba-tiba nongol di depannya.
“Meida! Lombanya
udah mulai tuh, kamu siap-siap ya!”, perintah Arlin yang membuatku tersadar
dari lamunan.
“Iya, Lin. Habis
ini aku turun kok.”, sahutku sangat tak bersemangat.
Tangan Meida bergetar sembari
memegangi kertas puisinya. Kini ia sedang menunggu gilirannya. Tapi sebenarnya
bukan itu yang ia pikirkan. Pikirannya masih tertuju pada satu nama. Bian.
Kini, bukan ia tak mau menggantikan Bian, bukan itu alasannya. Namun ada
sesuatu yang menggnjal hatinya. Apakah Bian baik-baik saja? Dia bukanlah orang
yang tidak menepati perkataannya. Semakin lama, semakin tak kuasa Meida menahan
dirinya. Buliran air mata mulai menetes di pipinya, hanya kedatangan Bian yang
kini ia inginkan. Bian yang tadi pagi berjanji pada dirinya, Bian yang dengan
senyum lebar menyapanya di pagi itu. Itulah bayang-bayang dalam harapan Meida.
Namun kenyataannya? Terkadang menyakitkan.
“Ya teman-teman,
kini tiba saatnya penampilan dari kelas IX A, Meida Alina diharap menempatkan
diri.”, merasa namanya dipanggil, reflek Meida langsung melangkahkan kakinya.
“Perkenalkan nama
saya, Meida Alina perwakilan dari kelas IX A.”, ucap Meida sebagai pembuka.
Rasanya Meida sudah tidak kuat lagi
meneruskan hal ini. Namun jika ia berbalik, apa arti dari puisi yang susah
payah dibuatnya itu? kalau bukan ingin meluapkan rasa kehilangannya akan Bian
sahabatnya itu, untuk apa ia berdiri di sana? Berharap Bian datang menolongnya?
Mungkin Meida lelah berharap terus seperti itu. Keberadaan Bian saja ia tidak
tahu, bagaimana bisa ia meminta Bian datang untuk yang kedua kalinya? Melihat
judul puisinya saja, dadanya mulai sesak. Namun jika tidak dilanjutkan semua
berakhir sia-sia bukan?
“Sahabat... kau..
hilang...”, ucap Meida mengawali pembacaan puisinya. Nampak jelas ia mulai
menangis, namun sekuat tenaga ia membaca puisinya.
“Kuharap
kau di sini-Menyaksikanku yang tak berdaya-Menantikan kehadiranmu kembali ke
sisiku-Sebagai sahabat selamnya”, itulah bait terakhir yang dibacakan Meida
masih dengan meneteskan air matanya.
Setelah itu, terdengar gemuruh
tepuk tangan yang memenuhi seluruh SMP. Meida tertunduk lemas, tangisnya masih
terdengar namun kalah oleh meriahnya tepuk tangan yang ia terima. Meida tak
peduli akan tepuk tangan atau bahkan kemenangan. Tetap pada harapannya yang
semula, hanya kedatangan sahabat yang ia maksudkan dalam puisinya tadi. Namun,
tiba-tiba semua berhenti bertepuk tangan. Seperti ada sesuatu yang menyebabkannya.
Meida merasa bahunya ditepuk seseorang.
“Keren banget puisimu, Da. Kalo gitu sih, aku
nggak perlu repot-repot buat”, gerutu seorang cowok yang sangat dikenal Meida.
Itu Bian! Segeralah Meida menghadap ke arah Bian, masih dengan wajah penuh air
mata. Meida tersenyum lebar dalam tangisnya, eh bukan, tangis bahagianya!
“Jangan kelamaan jongkok, Da. Entar kakimu kram.
Ayo aku bantu berdiri.”, ucap Bian mengulurkan tangannya.
Meida
tak bisa berkata apa-apa. Senang, tentu senang luar biasa. Bian yang ia kira
tidak akan datang itu tiba-tiba mengabulkan keinginannya tepat ketika sebuah
klimax dimulai. Meida meraih tangan Bian, dan berdiri perlahan. Mereka berdua
bertukar pandang, dan tersenyum bersama.
“Mau denger puisiku nggak, Da?”, tawar Bian pada
Meida yang sudah bisa mengontrol dirinya. Meida mengangguk.
“Ya, teman-teman semua. Perkenalkan namaku
Febrian Ade, aku juga perwakilan dari kelas IX A. Dan pada kesempatan ini, aku
akan membacakan puisi ciptaanku khusus untuk sahabat di sampingku ini. Tapi,
kalian jangan khawatir, anggap saja puisi ini juga untuk kalian semua, ok?”
“OK!”, seru seluruh siswa dengan semangat.
“Tetap bersamamu”, baru saja Bian membaca
judulnya, semua murid sudah bersorak entah karena judulnya menarik atau yang
membacakan yang menarik? *anaknya
ganteng.
Dengan
lancar Bian membacanya tanpa terbata-bata dan diiringi dengan senyumnya yang
menawan, berbeda dengan Meida tadi. Yang puisi sedihnya selalu beriringan
dengan air matanya yang terus mengalir.
“Ku mohon padamu-Jangan
buang air mata itu-Jangan khawatir akan diriku-Karena aku akan tetap di sini-Untukmu
dan untuk persahabatan kita”, ucap Bian mengakhiri penampilannya itu.
Sorakan siswa-siswi pun juga
meriah untuk Bian. Meida semakin percaya pada sahabat di sebelahnya itu. Rasa
percaya akan kesungguhan Bian menjalin tali persahabatan dengan dirinya. Juga
ungkapan Bian pada puisinya itu ‘Karena aku akan tetap di sini’, membuat Meida
semakin mengerti apa itu sahabat.
“Wah, kalian memang andalanku!”, seru Arlin dari
belakang sembari merangkul kedua temannya itu yang ibarat telah mengalami drama
di tengah lapangan.
“Bi, kamu kok baru dateng sih? Bikin orang
khawatir aja!”, bisik Meida masih dalam rangkulan Arlin.
“Siapa bilang aku dateng telat? Orang tadi aku
ngikut UH susulan di kantor guru. Oh ya, aku kan udah bilang, setiap karya
pasti ada harganya. Jadi aku ngasih kesempatan dulu buat kamu. Baru deh,
gantian sama aku. Fair kan?”, jelas Bian yang tak kalah lirihnya dengan Meida.
**
“Tadi itu keren banget loh, Da. Apalagi
kedatangan Bian yang nambah jedar-jeder!”, ungkap Arlina terkagum-kagum melihat
hasil kerja keras temannya itu ketika mereka telah kembali ke kelas. Meida
hanya tersenyum tanpa berkomentar.
“Ya iyalah bagus, orang dianya lagi kangen sama
aku, ya nggak Da?”, ledek Bian.
“Cuma sedikit”, jawab Meida lirih dan sedikit
tertawa.
“Ya udah deh kalau begitu, aku kangen sama kalian
berdua!”, seru Arlina kemudian memeluk kedua temannya. Karena ini di ruang
kelas, jelaslah banyak murid. Murid-murid yang lain nggak mau kalah dari Arlina.
Akhirnya keluarga besar IX A saling berpelukan termasuk wali kelas mereka, Bu
Hilda.
Wah jadi inget teletubies!!! Berpelukan.....
-End-
okay itu dari sayaa.. sorry kalo cerpennya kurrang nggregeettt....
Sekian dan terima G+