Posted by : Unknown Kamis, 12 November 2015


Morning guyss... aku kembali nih..
Kesempatan kali ini aku mau ngeposting cerpen lagi..
Happy reading guysss.. ^_^

Duel

Bel berdering, menggema di langit biru yang nampak cerah. Seluruh siswa kelas VII dan VIII berhamburan. Mereka mencoba mendapat posisi pertama meninggalkan kelas. Ribut dan berdesak-desak. Terdengar teriakan anak perempuan yang histeris dan dramatis ketika terdorong-dorong bahkan ada saja yang saling menginjak. Guru-guru yang sudah jelas bergabung dengan gerombolan anak tak berperikesabaran itu hanya geleng-geleng dan berkali-kali memberi nasehat. Kemungkinan kerongkongan guru-guru itu mulai kering karena tak satupun siswa yang mengindahkan nasehatnya.
Berbeda dengan adik-adik kelasnya yang terbilang agresif ketika mendengar bel, anak-anak kelas IX telah pulang dengan damai tanpa ada kemacetan yang terkadang membuat guru killer pun tak bisa berkutik. Jauh dari kemacetan itu, tepatnya di koridor kelas IX yang berada di lantai tiga Meida sedang duduk lesu di depan laboratorium fisika. Meida menari-narikan pensil dan penghapusnya secara bergantian pada secarik kertas putih yang dipegangnya. Entah apa yang dikerjakan anak itu, nampaknya sangat serius. Sesekali terlihat ia berkomat-kamit layaknya menghafalkan berbagai mantra-mantra sihir lalu tiba-tiba ia mengisyaratkan rasa frustasinya dengan membuang napasnya dengan berat.
“Hei, Da. Sendirian aja, mau aku temenin?”, sapa Fera sambil menggandeng dua temannya, atau bahkan lebih tepatnya em... anak buah mungkin.
“Eh, kamu Fer. Thanks, ya. Tapi aku udah susah-sudah nyari tempat sepi begini, kalo kamu gabung percuma kan?”, ungkapku dengan nada seramah mungkin berusaha menyuruhnya meninggalkanku sendiri.
“Hehe, sorry. Ngomong-ngomong lagi ngapain nih? Dari tadi aku perhatiin kok kaya marah-marah nggak jelas. Hati-hati entar kesambet lo, Da.”
“Cuma lagi menjalankan amanatnya si Arlin, aku nggak akan macem-macem kok.”
“Amanat dari si killer itu? Kalo nggak salah buat nggantiin si Bian bukan?”, celetuk Rena yang terkadang termasuk anak yang paling hapal breaking news di SMP itu. Meida mengangguk.
“Kenapa nggak Arlin aja yang nggantiin, Da? Dia kan ketua kelas dan bertanggung jawab sama masalah gituan.”, tanya Fera ingin tahu. Meida mengangkat bahunya tanda tak mengerti.
“Tapi kan ini lomba baca puisi, kalo nggak salah nih si killer itu anak yang pemalu tahu, atau bahkan takut malu-maluin?”, sahut Rena yang sok tahu itu.
“Kamu tahu dari mana, Ren? Jangan asal nyembur gitu kalo nggak jelas sumbernya.”, Hisa yang dari tadi bermain hp itu tiba-tiba ikut nimbrug. Rena kalah telak.
“Trus, mana puisinya, Da? Coba lihat dong.”, pinta Fera dengan senyum lebarnya. Meida memperlihatkan secarik kertas yang putih bersih, hanya saja mungkin ketebalan kertas itu sudah menipis. Bagaimana tidak? Dari tadi penghapus merah bergambar angry bird itu telah menggilas berulang kali. Ketiga cewek di depan Meida itu hanya berdecak dan menggeleng tidak percaya melihat kertas itu masih kosong kecuali bagian ujung atas sebelah kiri yang bertuliskan ‘Meida Alina’.
“Loh, masih kosong?”, kaget Rena.
“Ku kira kau sudah selesai, Da. Berhubung tadi kan kelas bubar satu jam yang lalu. Apa tidak ada satu bait pun yang kau ciptakan?”, sambung Hisa.
“Aku pengen bantu kamu, Da.”, ucap Fera sembari melemparkan tatapan iba pada Meida.
“Aku nggak papa kok, ini juga lagi nyari inspirasi. Dari tadi pikiranku lagi nge-blank, aku khawatir kalau Bian belum sehat juga. Masa sudah satu minggu masih belum kelar sakitnya.”, jawab Meida berusaha menyembunyikan rasa khawatir dan kesalnya karena mendapat tugas dadakan dari ketua kelasnya yang killer itu.
“Cie mikirin Bian.", goda Rena.
“Apaan sih. Aku khawatir kalau sampe besok Bian nggak berangkat kali. So, itu berarti aku harus ngejalanin perintah itu kan? Udah gitu puisinya belum jadi lagi.”, gerutu Meida meratapi nasibnya dan sedikit merasa malu karena membuat teman-temannya itu salah paham akan rasa khawatirnya pada Bian.
“Ok, sudah bulat tekadku, Da! Aku mau bantuin kamu”, seru Hisa bersemangat.
“Tunggu-tunggu kamu mau apa barusan? Bantuin Ida? Kamu baca puisi aja kaya orang kumur-kumur alias nggak jelas, apalagi bantu buat. Bisa-bisa nanti yang keluar bahasa alien lagi. Hahaha”, ledek Rena pada Hisa. Mereka pun tertawa mendengar pernyataan Rena.
“Siapa bilang mau bantu buat. Aku mau bantu doa kali!”, tepis Hisa. Kini Hisa yang tertawa penuh kemenangan dalam hatinya membalaskan ledekan Rena.
“Sssttt, kalian berdua! Udah deh, kasian Meida. Bukannya dibantuin malah ribut sendiri. Tuh konsentrasi Meida ilang gara-gara kalian.”, omel Fera pada kedua anak itu.
“Maaf, Da.”, ucap mereka lemah. Meida hanya tersenyum dan mengangguk.
“Eh kita ada les. Meida kami pulang dulu ya”, ucap Fera seraya beranjak dari lab fisika.
“Semoga cepet ketemu Bian! Biar nggak nge-blank terus. Haha”, sahut Rena dengan nada cekikikan.
“Konyol banget doamu Ren!”, celetuk Ida pada Rena.
“Bye bye! Jangan lupa bantuannya! Bantu doanya ya His!”, teriakku dari lantai tiga ketika melihat mereka bertiga kini telah menginjakkan kaki di lapangan basket. Mereka mengacungkan jempol serempak.
            Suasanya kembali hening. Sama seperti sebelum ketiga temannya itu menghampiri Meida. Gelisa dan takut, ibarat salad yang tercampur kuat dengan mayones. Gelisah, karena puisinya belum saja terlahir dari pikirannya. Juga takut, karena Bian teman akrabnya yang belum juga kembali dari rumah sakit. Tidak ada yang tahu apa penyebab Bian masuk RS, entah kecelakaan entah sakit dan masih ada entah-entah yang lainnya yang jelas mengganggu pikiran Meida. Hanya desas desus yang ia dengar.
            Hari nampak semakin sore. Meida tidak menyadari banyak waktu terbuang lantaran pikirannya yang kacau. Ia juga membiarkan dirinya sedari tadi seorang diri di depan lab itu tanpa seorang pun yang menemaninya. Yap, Meida adalah anak pendiam yang sedikit cerewet pada waktu tertentu saja. Menikmati kesendirian dengan pikiran yang entah berpusat di mana, mungkin makanan Meida setiap hari. Namun, belakangan ini ia mulai mengubah sikapnya. Ia berharap ia bisa bergaul dengan banyak anak lagi, terutama tiga anak yang tadi sempat menghampirinya itu dan tidak ketinggalan pula Arlin dan juga Bian.
            Siapa yang menduga, Arlin si ketua kelas killer itu memilih duduk dengan Meida yang sebenarnya adalah anak pindahan ketika ia memasuki kelas VIII dibandingkan teman-temannya yang lain. Ketika ditanya oleh orang-orang kepo yang berkeliaran di sekitarnya Arlin hanya menjawab dengan santai ‘Kan orang killer harus berdampingan dengan orang kalem’. Lucu memang anggapan Arlin itu, namun Meida perlahan menyadari sisi lain dari Arlin. Setiap saat ketika duduk bersama Arlin, ia mulai yakin bahwa sang ketua kelas itu sangat baik padanya. Hanya saja, jika perintahnya tak terkabulakan ia akan marah besar. Meida tertawa ketika kenangan itu tiba-tiba terlintas di pikirannya. Dan ia merasa hpnya bergetar, ternyata kakaknya telah menjemput dan sedang menunggu di dekat halte depan SMPnya. Bergegaslah Meida menuruni anak tangga dari lantai tiga ke lantai pertama, lelah memang.
“Sorry, kak. Tadi di lantai atas.”, ucap Meida sambi nyengir memohon ampun pada kakaknya yang telah memasang wajah judes.
“Eh, kak. Sore ini kakak cantik banget nih.” namun kakaknya tak menanggapi rayuan Meida itu. Ternyata sudah tidak mempan.
            Dengan secepat kilat, Meida telah sampai lalu masuk ke dalam area rumahnya yang luas itu. Luas dan sederhana penuh dengan warna hijau yang diberikan rerumputan dan pohon-pohon di tamannya. Nampak mamanya yang tengah menyirami bunga-bunga anggrek kesukaan Meida, terutama yang warna putih. Tanpa membuang waktu, Meida segera menyapa mamanya dan masuk ke dalam rumah dan berharap waktu yang tersisa untuknya masih banyak, waktu untuk menyelesaikan puisi tentunya.
**
            Namun apa daya, malam itu mati lampu. Perasaan Meida semakin kalang kabut. Pagi-pagi yang sangat pagi, ia bangun dan telah siap di depan meja belajarnya. Tidak ketinggalan secarik kertas yang tak kunjung mendapat suplai tulisan itu. Pikirannya masih alot jika pagi-pagi saja sudah dipaksa berfikir, walaupun ia terkenal sebagai anak cerdas di SMPnya itu. Meida hanya berharap banyak supaya tulisan itu memiliki inisiatif untuk muncul sendiri *hal yang mustahil bukan?.
            Jam weker bergambar angry bird itu telah menunjukkan pukul tiga pagi lengkap dengan mata melototnya. Meida masih saja berkutat dengan bolpoin itu yang mungkin sudah sesak napas karena Ida mencengkramnya dengan kuat. Sesekali keringat Ida menetes karena saking kerasnya ia berfikir untuk menuju garis final puisinya itu. Memilih tema lumayan sulit, terlebih pikirannya sekarang masih kacau. Namun kekacauan pikirannya itu, memberikan ide. Yap! Menjadi bahan membuat puisinya.
“Kegelisahan yang berguna!”, desah Ida sangat lirih.
            Tak butuk waktu lama seperti sebelumnya, kini tangan Ida lihai memainkan bolpoinnya. Kata-kata yang dituliskannya sangat bagus. Bagaimana tidak? Kata-katanya saja keluar dari hatinya. Tentulah orang yang membacanya akan tersentuh dan seolah-olah ikut merasakan apa yang dirasakan Ida, kehilangan!
            Meida tersenyum sumringah semacam orang menang undian ketika melihat deretan kalimat-kalimat puitis dengan judul “Sahabat, Kau Hilang” itu. Jika ini siang hari, ia berniat berjingkrak-jingkrak kegirangan. Namun, ia tahu diri dan tahu suasana. Jelas tak mungkin pagi-pagi buta menimbulkan keributan. Siap-siap saja Meida mendengarkan ceramah kakaknya yang hampir mirip amanat dari kepala sekolahnya yang panjang lebar. Meida bergidik ngeri kalau hal itu sampai terjadi. Di tengah kegembiraannya yang tiada tara itu, hpnya membunyikan dering yang membisingkan. Disambarnya hp yang tergeletak di atas kasur. Tiba-tiba Meida tersenyum selebar mungkin melihat nama yang ada di layar hpnya itu. Bian nelpon!
“Assalamu’alaikum. Halo, Bi! Kamu udah sembuh? Kamu sakit apaan sih kok nggak sembuh-sembuh? Udah pulang ke rumah belum? Oh ya, nanti kamu harus berangkat! Pokoknya harus, nggak ada tapi-tapian! Karena kalo kamu nggak berangkat, bisa-bisa aku harus nggantiin kamu. Udah puisinya baru kelar, nggak bagus-bagus amat pula*bohong. Aku tunggu lho, awas kalo nggak berangkat!”, ucap Meida tanpa mempedulikan Bian untuk berbicara dulu. Entah saking senangnya mendengar suara Bian, atau saking keponya seorang Ida mengenai teman akrabnya itu.
“Wa’alaikumsalam. Hey, selow mba bro. Langsung nyerocos aja. Haha lo kepo ya? Apa kangen sama gue?”, terdengar jawaban Bian sangat jelas karena keadaan kamar Meida sangat sepi.
“Nggak kangen-kangen amat sih. Makanya berangkat dong! Tugas numpuk, udah gitu kamu yang nggak berangkat aku yang kena batunya. Aku jelasin lagi ya, tuh amanat dari Arlin sekarang berpindah tangan. Aku yang nanggung semuanya, aku bela-belain bangun tengah malem buat bikin tuh puisi, alhasil baru selesai dan hasilnya kamu tahu sendiri kan.”, sekarang pembicaraan Meida mulai menjurus pada sesi curhat.
“Jadi lo nggak mau bantuin gue, Da?”, suara Bian mulai melemah. Meida yang mendengarnya mulai salah tingkah *merasa bersalah. Dia pun mencoba menemukan kata-kata yang pas untuk meluruskan kembali maksud omongannya itu.
“Mau-mau aja sih, malah mau banget, Bi. Hanya saja waktu tidak berpihak padaku. Andai aja si Arlin nyuruh jauh-jauh hari, pasti akan kuterima tawarannya. Lah, dia baru ngomong kemarin kok.”, tegasku dengan nada yang sedikit direndahkan.
“Tapi, kayak ada yang salah deh dari omongan lo yang super panjang tadi. Puisinya lo bikin sendiri? Ck ck ck, nggak kali, Da. Puisinya udah ada di Arlin. Waktu itu gue udah sempet buat, tapi tinggal guenya besok sempet baca apa nggak.”, ekspresi Ida berubah geram mendengar penuturan dari Bian barusan. Apakah Arlin berniat mempermainkan Meida? Atau ada alasan lain yang logis?
“Oh, jadi kamu udah buat. Ya nggak papa sih, itung-itung untuk mengasah kemampuan puitisku. Haha”, sahut Ida berusaha tidak terlihat kesal.
“Tapi besok bawa aja, siapa tahu bagusan punya lo. Tenang aja, setiap karya pasti ada harganya.”, suara Bian terdengar seperti guru BK sedang menasehati muridnya yang suka berulah. Ida mengangguk tanpa sepengetahuan Bian.
“Ya udah, Bi. Kamu istirahat aja, tapi inget! Nanti kalo kamu nggak muncul, awas aja!”, ancam Meida yang nampak lebih menakutkan dari ancaman sang ketua kelas mereka.
“Siap, bos!”, Meida hanya tertawa geli mendengar ucapan Bian yang layaknya sedang disuruh-suruh.
“Wassalamu’alaikum, Da”
“Wa’alaikumsalam, Bi”
            Percakapan itupun berakhir cepat. Namun, kini Ida sudah mendapat suatu kepastian. Bahwa puisi yang dibuatnya itu hanya sedikit kemungkinan untuk dibacakan, dan juga orang yang sudah ditunggu-tunggunya di kelas setiap hari, besok akan menyapanya seperti yang terjadi satu pekan lalu.
**
“Hy, Da!”, sapa Arlin dengan senyumnya yang sangat manis, yang terkadang hati Meida pun luluh karenanya. Apalgi anak cowo?
“Hy, juga Lin.”, Ida menjawab dengan lesu karena yang menyapanya bukan Bian. Hal ini terjadi mulai setengah jam yang lalu. Hampir seluruh teman sekelasnya menyapanya karena posisi Meida yang seperti menghadang di depan pintu, yang mau tak mau temannya harus memberikan sapaan. Namun, Meida hanya menyahutinya biasa saja.
“Kucel amat tuh muka. Kaya aku dong, bersih, putih, tak berminyak, tak berjerawat. Layaknya iklan garnier tahu.”, ledek Arlin masih berdiri di samping Meida.
“Hello, emang kamu doang yang kaya pelaku iklan? aku juga kali. Aku before-nya kamu after-nya. Haha”, inilah keistimewaan Meida. Pendiam, namun apabila sudah dekat akan sangat mudah diajak bercanda walaupun dia sedang badmood.
“Ya udah, masuk yuk, Da. Emang kamu mau sampai kapan ngetem di sini? Nggak lagi narik uang kas kan?”, ajak Arlin yang tak sabar masuk ke kelas.
“Nggak juga sih. Ayo”, balas Ida.
            Mereka memasuki ruang kelas. Nampak Fera, Rena, dan Hisa sedang piket. Usut punya usut yang piket hanya Fera. Namun karena gelar ‘bos dan dua pesuruh’ sudah terlanjur diberikan teman-teman pada mereka, maka apa yang bisa mereka perbuat? Di sinilah Fera mendapat keuntungan. Meida dan Arlin terkadang masih bingung pada Rena dan Hisa. Mereka sempat salut pada Rena dan Hisa. Bayangkan betapa setianya dua anak itu pada Fera, sungguh terlihat seperti jaman-jaman kerajaan dahulu kala.
            Tak berselang lama, pelajaran pun dimulai. Meida belum mendeteksi tanda-tanda Bian di sekitarnya. Di sebelahnya, Arlin tengah fokus mendengarkan Pak Rafi berceloteh. Ingin ia bertanya pada si ketua kelas, namun ia tak ingin membuyarkan konsentrasi temannya.
“Lin! Lihat Bian?”, tanyaku mencegat Arlin yang hendak ke perpus ketika waktu istirahat tiba.
“Nggak, Da. Emang Bian udah berangkat ya?”
“Tapi, tadi di papan absen tulisannya nihil kan?”, Meida berusaha memastikan.
“Yah, kamu ini. Itu kan si Rena yang nggak sengaja nulis pakai spidol permanent. Apa kamu lupa?”, jawab Arlin sedikit tertawa. Meida mulai paham.
            Ok, sekarang Meida sedang dibuat pusing. Mulai dari masalah lomba, Arlin yang menyembunyikan fakta bahwa puisinya sudah ada, dan sekarang apa? Sampai istirahat pertama ini Meida merasa ditipu oleh Bian. Tapi, ia masih berharap Bian tiba-tiba nongol di depannya.
“Meida! Lombanya udah mulai tuh, kamu siap-siap ya!”, perintah Arlin yang membuatku tersadar dari lamunan.
“Iya, Lin. Habis ini aku turun kok.”, sahutku sangat tak bersemangat.
            Tangan Meida bergetar sembari memegangi kertas puisinya. Kini ia sedang menunggu gilirannya. Tapi sebenarnya bukan itu yang ia pikirkan. Pikirannya masih tertuju pada satu nama. Bian. Kini, bukan ia tak mau menggantikan Bian, bukan itu alasannya. Namun ada sesuatu yang menggnjal hatinya. Apakah Bian baik-baik saja? Dia bukanlah orang yang tidak menepati perkataannya. Semakin lama, semakin tak kuasa Meida menahan dirinya. Buliran air mata mulai menetes di pipinya, hanya kedatangan Bian yang kini ia inginkan. Bian yang tadi pagi berjanji pada dirinya, Bian yang dengan senyum lebar menyapanya di pagi itu. Itulah bayang-bayang dalam harapan Meida. Namun kenyataannya? Terkadang menyakitkan.
“Ya teman-teman, kini tiba saatnya penampilan dari kelas IX A, Meida Alina diharap menempatkan diri.”, merasa namanya dipanggil, reflek Meida langsung melangkahkan kakinya.
“Perkenalkan nama saya, Meida Alina perwakilan dari kelas IX A.”, ucap Meida sebagai pembuka.
            Rasanya Meida sudah tidak kuat lagi meneruskan hal ini. Namun jika ia berbalik, apa arti dari puisi yang susah payah dibuatnya itu? kalau bukan ingin meluapkan rasa kehilangannya akan Bian sahabatnya itu, untuk apa ia berdiri di sana? Berharap Bian datang menolongnya? Mungkin Meida lelah berharap terus seperti itu. Keberadaan Bian saja ia tidak tahu, bagaimana bisa ia meminta Bian datang untuk yang kedua kalinya? Melihat judul puisinya saja, dadanya mulai sesak. Namun jika tidak dilanjutkan semua berakhir sia-sia bukan?
“Sahabat... kau.. hilang...”, ucap Meida mengawali pembacaan puisinya. Nampak jelas ia mulai menangis, namun sekuat tenaga ia membaca puisinya.
Kuharap kau di sini-Menyaksikanku yang tak berdaya-Menantikan kehadiranmu kembali ke sisiku-Sebagai sahabat selamnya”, itulah bait terakhir yang dibacakan Meida masih dengan meneteskan air matanya.
Setelah itu, terdengar gemuruh tepuk tangan yang memenuhi seluruh SMP. Meida tertunduk lemas, tangisnya masih terdengar namun kalah oleh meriahnya tepuk tangan yang ia terima. Meida tak peduli akan tepuk tangan atau bahkan kemenangan. Tetap pada harapannya yang semula, hanya kedatangan sahabat yang ia maksudkan dalam puisinya tadi. Namun, tiba-tiba semua berhenti bertepuk tangan. Seperti ada sesuatu yang menyebabkannya. Meida merasa bahunya ditepuk seseorang.
“Keren banget puisimu, Da. Kalo gitu sih, aku nggak perlu repot-repot buat”, gerutu seorang cowok yang sangat dikenal Meida. Itu Bian! Segeralah Meida menghadap ke arah Bian, masih dengan wajah penuh air mata. Meida tersenyum lebar dalam tangisnya, eh bukan, tangis bahagianya!
“Jangan kelamaan jongkok, Da. Entar kakimu kram. Ayo aku bantu berdiri.”, ucap Bian mengulurkan tangannya.
            Meida tak bisa berkata apa-apa. Senang, tentu senang luar biasa. Bian yang ia kira tidak akan datang itu tiba-tiba mengabulkan keinginannya tepat ketika sebuah klimax dimulai. Meida meraih tangan Bian, dan berdiri perlahan. Mereka berdua bertukar pandang, dan tersenyum bersama.
“Mau denger puisiku nggak, Da?”, tawar Bian pada Meida yang sudah bisa mengontrol dirinya. Meida mengangguk.
“Ya, teman-teman semua. Perkenalkan namaku Febrian Ade, aku juga perwakilan dari kelas IX A. Dan pada kesempatan ini, aku akan membacakan puisi ciptaanku khusus untuk sahabat di sampingku ini. Tapi, kalian jangan khawatir, anggap saja puisi ini juga untuk kalian semua, ok?” “OK!”, seru seluruh siswa dengan semangat.
“Tetap bersamamu”, baru saja Bian membaca judulnya, semua murid sudah bersorak entah karena judulnya menarik atau yang membacakan yang menarik? *anaknya ganteng.
            Dengan lancar Bian membacanya tanpa terbata-bata dan diiringi dengan senyumnya yang menawan, berbeda dengan Meida tadi. Yang puisi sedihnya selalu beriringan dengan air matanya yang terus mengalir.
“Ku mohon padamu-Jangan buang air mata itu-Jangan khawatir akan diriku-Karena aku akan tetap di sini-Untukmu dan untuk persahabatan kita”, ucap Bian mengakhiri penampilannya itu.
Sorakan siswa-siswi pun juga meriah untuk Bian. Meida semakin percaya pada sahabat di sebelahnya itu. Rasa percaya akan kesungguhan Bian menjalin tali persahabatan dengan dirinya. Juga ungkapan Bian pada puisinya itu ‘Karena aku akan tetap di sini’, membuat Meida semakin mengerti apa itu sahabat.
“Wah, kalian memang andalanku!”, seru Arlin dari belakang sembari merangkul kedua temannya itu yang ibarat telah mengalami drama di tengah lapangan.
“Bi, kamu kok baru dateng sih? Bikin orang khawatir aja!”, bisik Meida masih dalam rangkulan Arlin.
“Siapa bilang aku dateng telat? Orang tadi aku ngikut UH susulan di kantor guru. Oh ya, aku kan udah bilang, setiap karya pasti ada harganya. Jadi aku ngasih kesempatan dulu buat kamu. Baru deh, gantian sama aku. Fair kan?”, jelas Bian yang tak kalah lirihnya dengan Meida.
**
“Tadi itu keren banget loh, Da. Apalagi kedatangan Bian yang nambah jedar-jeder!”, ungkap Arlina terkagum-kagum melihat hasil kerja keras temannya itu ketika mereka telah kembali ke kelas. Meida hanya tersenyum tanpa berkomentar.
“Ya iyalah bagus, orang dianya lagi kangen sama aku, ya nggak Da?”, ledek Bian.
“Cuma sedikit”, jawab Meida lirih dan sedikit tertawa.
“Ya udah deh kalau begitu, aku kangen sama kalian berdua!”, seru Arlina kemudian memeluk kedua temannya. Karena ini di ruang kelas, jelaslah banyak murid. Murid-murid yang lain nggak mau kalah dari Arlina. Akhirnya keluarga besar IX A saling berpelukan termasuk wali kelas mereka, Bu Hilda.
Wah jadi inget teletubies!!! Berpelukan.....
-End-



 okay itu  dari sayaa.. sorry kalo cerpennya kurrang nggregeettt....
Sekian dan terima G+

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © IndahLy - Hatsune Miku - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -