Archive for November 2015
Hardware Internet
1.
Modem
Modem berfungsi untuk mengubah gelombang analog menjadi
sinyal digital dan sebaliknya mengubah sinyal digital menjadi gelombang analog.
Modem merupakan perangkat perantara
antara komputer dengan saluran telepon agar dapat berhubungan
dengan ISP (Internet Service Provider - penyedia jasa internet). Kabel modem adalah alat yang memberikan akses
berkecepatan tinggi ke internet melalui jaringan kabel televisi. Sama halnya
dengan respon dari modem analog tradisional, kabel modem memiliki keunggulan
mempunyai kekuatan yang lebih, mampu mengirimkan data lebih cepat kira-kira 500
kali.
2.
Hub
Hub berguna untuk menghubungkan antar segmen dalam jaringan.
Dia bekerja di level fisik (layer pertama) dari model referensi OSI. Dengan
adanya hub, maka CSMA/CD yang bertugas untuk mensharing medium (kabel, udara,
fiber, dll) agar semua bisa terkoneksi dapat berjalan dengan baik. Hub bertugas
mengkoneksikan setiap node agar terhubung dengan sebuah backbone utama dalam
proses transmisi data.
3.
Router
Router adalah sebuah alat jaringan
komputer yang mengirimkan paket data melalui sebuah jaringan atau Internet
menuju tujuannya, melalui sebuah proses yang dikenal sebagai routing. Proses
routing terjadi pada lapisan 3 (Lapisan jaringan seperti Internet Protocol)
dari stack protokol tujuh-lapis OSI.
Router berfungsi sebagai penghubung antar dua atau lebih jaringan untuk
meneruskan data dari satu jaringan ke jaringan lainnya. Router berbeda dengan
switch. Switch merupakan penghubung beberapa alat untuk membentuk suatu Local
Area Network (LAN).
4.
Kartu
Jaringan (network interface card /NIC/ network card)
Jenis NIC yang beredar,
terbagi menjadi dua jenis, yakni NIC yang bersifat fisik, dan NIC yang bersifat
logis. Contoh NIC yang bersifat fisik adalah NIC Ethernet, Token
Ring, dan lainnya; sementara
NIC yang bersifat logis adalah loopback adapter dan Dial-up Adapter. Disebut
juga sebagai Network Adapter. Setiap jenis NIC diberi nomor alamat yang disebut
sebagai MAC address, yang dapat bersifat statis atau dapat diubah oleh pengguna.
5.
Bridge
Adalah sebuah komponen
jaringan yang digunakan untuk memperluas jaringan atau membuat sebuah segmen
jaringan. Bridge jaringan beroperasi di
dalam lapisan data-link pada model
OSI. Bridge juga dapat digunakan untuk
menggabungkan dua buah media jaringan yang berbeda, seperti halnya antara media
kabel Unshielded Twisted-Pair (UTP) dengan kabel
serat optik atau dua buah arsitektur
jaringan yang berbeda, seperti halnya antara
Token Ring dan Ethernet. Bridge akan membuat sinyal yang ditransmisikan oleh
pengirim tapi tidak melakukan konversi terhadap protokol, sehingga agar dua
segmen jaringan yang dikoneksikan ke bridge tersebut harus terdapat protokol
jaringan yang sama (seperti halnya TCP/IP). Bridge jaringan juga kadang-kadang mendukung protokol Simple Network Management Protocol (SNMP), dan beberapa di antaranya memiliki fitur diagnosis
lainnya. Terdapat tiga jenis bridge jaringan yang umum dijumpai:
Bridge Remote: dapat digunakan untuk membuat sebuah
sambungan (link) antara LAN untuk membuat sebuah Wide Area Network.
Bridge Nirkabel: sebuah bridge yang dapat menggabungkan
jaringan LAN berkabel dan jaringan LAN nirkabel.
6.
RAM
7.
Hardisk
8.
Monitor
Merupakan
perangkat output.
10. Repeater
Berguna
untuk menerima sinyal dan memancarkan kembali sinyal tersebut dengan kekuatan
yang sama dengan sinyal asli.
Sumber :
Ok sekian dan terima G+ :D
[CERPEN] Air Terjun Perdamaian
Hy hy hy mau ngepost cerpen
nih…
Ini sebenernya cerpen buat
tugas BI di kelas.
Berhubung gue punya blog
gue sasarin deh nih cerpen……….
SEMOGA BISA MENGHIBUR
KAWAN!!!
@Happy_reading
Air
Terjun Perdamaian
Suasana pagi begitu
indah dirasa. Matahari yang dengan sukarelanya membagikan cahaya, burung-burung
yang bersenandung ria, bahkan dedaunan yang diselimuti embun nampak basah
sempurna. Tak ada sepasang mata pun yang rela melewatkan hal itu. Namun apa
boleh buat, bel masuk kelas terdengar nyaring melantunkan nadanya. Reflek, siswa-siswa
akan berbaris rapi memasuki kelas. Tentu hal itu berlaku setelah bergantinya
kepala sekolah di smp itu. Peraturan diperketat hingga siswa yang memiliki
notaben terburuk pun tak bisa lari dari jeratan. Berdampak baik memang, bahkan
sangat baik. Karena tidak ada lagi siswa yang berani bertengger di depan
kelasnya setelah bel masuk dikumandangkan. Secara alamiah, suasana aman,
tertib, dan nyaman tercipta di seluruh penjuru sekolah. Tetapi, siapa sangka. Pagi
itu terdapat pemandangan yang jarang terlihat. Secara sekilas dan begitu jelas,
terlihat seorang siswi berkerudung tengah melajukan kakinya semaksimal mungkin
di koridor kelas VIII. Ia adalah Leli yang tampak sedang lari maraton
sendirian, lengkap dengan tumpukan buku paket yang dicengramnya kuat. Tak ia
hiraukan suara derap kakinya yang menggema karena saking sepinya koridor itu.
Yang ia pikirkan hanya sampai secepat mungkin di kelasnya. Dari kejauhan terlihat
dua siswa yang sedang menantikan kedatangannya. Samar-samar kedua siswa itu
bersorak-sorak memprofokasi Leli supaya cepat sampai.
“Ayo, Le! Dikit lagi juga. Keburu si algojo dateng!”, ucap
siswa yang bertubuh tinggi.
“Iya, Le!”, sahut yang satunya. Merasa diancam Leli
meningkatkan kecepatannya.
“Si algojo, kenapa? Kenapa dia? Nggak berulah lagi kan?”,
tanya Leli setelah berhasil menggapai posisi kedua temannya.
“Itu sih bukan berulah lagi kali, Le. Sudah sewenang-wenang!
Lihat aja tuh di dalem”, jawab Helis yang bertubuh tinggi itu.
Tanpa basa-basi, Leli menurut. Ia sedikit tercengang membaca
tulisan ‘Acara Karyawisata ke Waterfall (Disetujui)’
yang terlihat jelas dengan ukuran jumbo di papan tulis. Jelas sudah itu ulah
dari si algojo yang tak lain adalah wakil ketua kelas di VIII E, Heru. Leli
menahan rasa kesalnya. Bisa-bisanya ia sebagai ketua kelas tidak diberi
kesempatan untuk berpendapat. Mungkin Heru tahu. Jika Leli tidak akan setuju
dengan acara itu. Bagaimana tidak? Leli pernah berkata padanya “Ya kali air terjunnya di tempat yang sudah
ter-expose, lha ini di tengah hutan. Bahaya tahu, Her!”, mendengar hal itu
saja sudah jelas bukan? Leli tidak setuju! Heru sudah tahu watak Leli yang
super keras kepala yang tidak segan bermusuhan dengannya.
“Her! Pagi-pagi jangan bikin orang naik pitam deh!”, kesal
Leli yang sudah tidak bisa ditoleransi lagi ketika Heri menampakkan dirinya di
ambang pintu. Tak lupa telunjuk Leli mengarah tepat pada papan tulis yang tak
bersalah itu. Heru mengangkat kedua bahunya.
“Lihat sendiri kan? Kamu sih Le, terlalu teguh pendirian.
Kali-kali ngalah dong. Lagian teman-teman juga pada setuju, kok. So, no poblem, kan?”, jawab Heru terlihat
angkuh.
“Ya, gitu-gitu jangan ninggalin ketua kelas dong.”, gerutu
Leli dengan suara sedikit dilemahkan.
“Siapa suruh datang telat?”, ejek Heru dan melangkah menuju
bangkunya.
Pagi-pagi hati Leli sudah dibuat campur aduk oleh si algojo
itu. Entah mengapa julukan ‘algojo’ itu disandang oleh Heru. Mungkin karena
sikapnya itu yang membuat lidah tajamnya Leli memilihkan kata ‘algojo’ untuk
pangkat terbaru Heru. Dan Heru nyaman-nyaman saja. Sedangkan di pihak Leli, ia
harus berlapang dada. Seperti halnya pagi ini. Leli memotifasi dirinya supaya
tabah. Ketabahan itu patut diacungi jempol karena ia duduk tepat di sebelah
Heru. Leli nampak setenang mungkin. Ketika jam pelajaran tiba, tidak terjadi
percakapan di antara keduanya. Sebab keduanya memiliki konsentrasi tingkat
tinggi. Maka tidak salah keduanya dipilih sebagai pasangan ketua dan wakil
ketua kelas walau tak pernah akur.
Berbeda dari kemarin dan yang telah berlalu, sejak tadi Leli
mengawasi Heru. Ia merasakan atmosfer keceriaan masih melekat pada Heru. Ingin
sekali ia melenyapkannya, namun terdengar sangat kejam menurutnya. Dari pada
melakukan hal bodoh, terbesitlah ide cemerlang di pikiran Leli. Ia tersenyum
puas dan kemudian memanggil Heru pelan.
“Her! Nanti kita bicara”, ucap Leli atau lebih tepatnya sedang
berbisik.
“Apa, Le? Jangan nanggung dong kalau ngomong. Aku nggak denger”,
desah Heru dengan pandangan tak teralihkan dari papan tulis.
“Heh, jangan pura-pura budeg deh. Nanti kita bicara!”, tegas
Leli masih lirih.
“Ok”.
Suasana kembali hening, lantaran kedua makhluk itu kembali
pada dunia masing-masing. Fokus tentunya. Mata mereka tertuju pada Pak Yusuf
guru fisika. Pak Yusuf tengah menerangkan materi dengan lancar, ibarat jalan
tol yang bebas hambatan. Itulah sebabnya murid-murid dengan mudah menyerap
materi. Terlebih didukung kemauan para murid untuk bungkam selama sesi KBM
berlangsung. Sayangnya, jam pelajaran fisika yang termasuk dalam daftar paling
digemari itu, berakhir tidak sesuai jadwal. Alasannya simpel, karena Pak Yusuf
banyak kerjaan di kantor. Alasan yang sampai kapan pun tidak akan berubah.
Sebagian siswa memasang wajah kecewa dan sesekali melemparkan keluhannya
sebelum Pak yusuf pergi. Untuk sebagian lagi? Sudah jelas mereka bersorak sorai
dibalik ekspresi sok kecewanya. Terbukti setelah Pak Yusuf hilang dari
pandangan, mereka bergembira. Mereka mengeluarkan kebahagiaan yang rasanya
meluap-luap itu. Jujur saja, kali ini Leli tidak bergeming. Ia tak mau
memeperkeruh suasana hatinya. Dipanggillah Heru untuk kedua kalinya.
“Her! Aku mau bicara”, Leli mengawali pembicaraan dengan nada
dibaik-baikkan sembari menghadap Heru di sampingnya.
“Tinggal ngomong, Le. Aku kan pendengar yang setia”, sahut
Heru enteng. Baru saja Leli akan melantunkan kalimatnya, tiba-tiba terdengar
cibiran dari seorang siswi bersama temannya.
“Hey, lihat tuh! Musuh bebuyutan mau damai! Pergi yuk, nanti
kita dikira obat nyamuk, lagi”, celetuk siswi dengan rambut dikepang dua.
Temannya itu pun langsung menurut.
“Siapa juga yang mau damai”, kesal Leli sambil menatap
kepergian dua anak itu.
“Apa, Le? Kamu mau ngomongin apa?”
“Eh, em oh ya Her, coba pikir lagi deh soal acara itu. Ini
acara pribadi kelas kita kan? Apa nggak berlebihan kita perginya ke hutan
segala? Aku juga kayaknya nggak diijinin ortu. Pertimbangin lagi deh. Batalin
ya?”, ucap Leli to the point, meski dengan nada semakin direndahkan agar Heru
bisa sedikit meluluhkan hati nuraninya. Nampak Heru berfikir.
“Em, ya......(Leli tersenyum) nggak bisa gitu, Le!”, jawaban
yang tidak diharapkan. Leli menelan ludahnya.
“Kamu juga, Le. Jangan berfikir macem-macem dulu. Kita nggak
akan nyasar, kok. Di sana ada jalur khususnya. Lagi pula hutannya bagus banget,
apalagi air terjunnya. Obat mata deh!”, Heru bersemangat melanjutkan kalimatnya
ini.
“Emang kamu pernah lihat?”, nada mengejek pun keluar.
“Orang bodoh mana sih yang mau usul tempat wisata, padahal dia
belum pernah ke sana. Jarang kan? Ya, aku pernahlah. Bahkan terbilang
berkali-kali. Juga, hitung-hitung aku berbagi kebahagiaan, gitu.”, jawab Heru
sedikit nyengir.
“Kenapa sekarang rasanya aku harus nyerah?”, geutu Leli dalam
hatinya.
“Gimana, Le? Terserah deh, yang penting acara itu tetap
berlangsung. Aku tunggu kamu di tempat mainnya, Le!”, ucap Heru melangkah
keluar dengan senyum misteriusnya yang nampak licik?
“Eh, kamu mau ke mana? Aku belum selesai!”
“Mau ke kantin! Mau ikut nggak?”, sahut Heru tetapi tidak
membalikkan tubuhnya. Leli diam di tempat.
“Ada yang habis negosiasi nih. Gimana? Ada hasilnya?”, tanya
Gina yang tiba-tiba duduk di samping Leli. Dengan wajah penuh penderitaan, Leli
menggeleng. Kali ini, hanya kali ini Leli membiarkan Heru.
**
Besok adalah hari “H”. Sebenarnya Leli nampak malas
menyambutnya. Namun, ia tidak ingin semangat belajarnya hilang, hanya karena
ulah Heru. Ia jalani kehidupan sekolah di pagi hari seperti biasa. Di kelas, di
kanting, di perpustakaan juga tidak berbeda. Apa lagi di rumah, sehingga ia
merasa hari ini terlalu biasa untuk seorang Leli. Jam weker di kamarnya
menunjukkan pukul sepuluh malam. Sudah selarut ini, matanya enggan diajak
kompromi untuk istirahat. Berulang kali ia mencoba terlelap, namun hasilnya
nihil. Ia pun hanya berbaring sembari menatap langit-langit kamarnya yang
gelap. Entah kenapa, saat ini pikirannya tertuju pada Heru. Terlintaslah
bayangan tentang permusuhan mereka, adegan adu argumen setiap hari di kelas,
dan tidak lupa Leli menyadari bahwa ialah yang memulai semua kejadian itu. Leli
mulai merasa tidak enak. Leli terlalu sering menentang apa usul dari Heru. Baik
itu benar maupun salah. Mungkinkah Leli terlalu berlebihan menanggapi hal
sepele itu? atau Leli terlalu berburuk sangka pada Heru? Partner sekaligus
tetangganya di kelas. Semakin dalam pikiran itu melekat, semakin lelah Leli
memikirkannya. Hingga, ia tidak menyadari ia mulai terlelap.
**
Minggu pagi ini, entah kesurupan setan apa, Leli sangat
bersemangat. Tepat pukul delapan, ia tampak gelagapan mencari-cari barang yang
belum masuk ceklist. Kedua orang
tuanya hanya tertawa kecil. Sedangkan, seorang makhluk imut yang tak lain
adalah adik kecil Leli, hanya menggerutu dan kesal akan sikap kakaknya itu.
Kakak yang berstatus ketua kelas, kini terlihat seperti PKL yang terkena
gusuran. Ributnya minta ampun!
“Kak, dari tadi malem dong, disiapinnya! Kaya nggak niat
banget. Lihat tuh sudah jam delapan, kesiangan baru tahu deh!”, omel Dafa pada
kakaknya itu.
“Emang nggak niat kali. Nih aja semangatnya baru muncul tadi
pagi.”, sahutku masih mengobrak abrik isi ruang tengah.
“Kamu nyariin apa sih, Kak? Sampai adiknya marah-marah gitu”,
desah mama.
“Lagi nyari jaket, Ma. Mama lihat? Nanti takut kedinginan, kan
wisatanya di kaki gunung, Ma”, jawab Leli panjang lebar.
“Bukannya kemarin kamu bawa ke sekolah ya?”, sahut papa
ikut-ikutan. Leli menepuk jidat.
“Oh, ya. Leli lupa! Wah bisa-bisa tuh jaket udah nginep di
sekolah lagi. Ma, gimana dong!”, ucap Leli khawatir karena tak rela jaket
kesayangannya tergelak dalam kegelapan. Namun sudah terlanjur.
“Sms temanmu, kak. Kali aja ada yang sukarela jadi relawan.
Relawan untuk mengevakuasi jaket kakak yang terjebak dalam kelas yang kotor dan
bau itu!”, pernyataan yang awalannya memberi saran dan akhirannya memberi
ejekan. Ejekan pada Leli tentunya, karena sekali lagi ia adalah ketua kelasnya.
“Makasih, Daf. Kadang kamu berguna juga.”, ucapku sambil
nyengir dan bergegas ke kamar.
Di kamar, Leli menyebarkan pandangan dan mencari lokasi hpku.
Tentu saja ia harus teliti mencari hpnya itu. Asal kalian tahu, kondisi
kamarnya kini hampir sama dengan ruang tengah yang telah ia obrak-abrik. Bisa
kalian bayangkan? Sedikit susah memang. Namun, kebiasaannya membawa jalan
keluar. Hp itu tergeletak di meja belajarnya. Tanpa berfikir lama, langsung
saja Leli mengingat satu nama, Heru. Segaralah ia kirimkan sebuah pesan.
‘Sob, tolong ambilin jaketku di kelas
dong. Please! Rumahmu kan deket jadi usahain ya!
Nanti aku ambil sebelum kita berangkat.
Balas aja “ya” jangan tanya-tanya nggak jelas.
Lagi hemat pulsa, jadi jangan ngarep
dapet balasan lagi. Trims. Sekian dan terima
jaket.’ Singkat namun to the point.
Tidak
ada balasan dari Heru. Ingin Leli mengomel-ngomel di pesan yang berikutnya.
Namun, ia sudah terlanjur berkata tidak akan sms lagi. Jadi, harus jaga image.
Dari pada menghabiskan waktu, Leli menggeletakkan hpnya dan pergi ke dapur
untuk mengambil sarapan. Waktu sarapan yang terbilang ekspres itu mampu menguras
habis sisa waktu Leli di rumah, sebelum akhirnya berangkat ke acara wisata itu.
Dengan tergopoh-gopoh ia memasukkan tas dan keperluan lainnya ke dalam mobil
dan melaju bersama ayah dan adiknya.
“Kak,
Dafa minta oleh-oleh ya!”, seru Dafa setengah berteriak padahal Leli tepat di
sampingnya.
“Iya,
nanti kakak oleh-olehin ranting sama batu.”, jawabku enteng.
“Lho
kok bisa?”
“Kenapa
nggak? Lagi pula kakak pergi ke hutan, ya itu kan oleh-olehnya?”
“Nggak
jadi deh!”, ternyata ucapan Leli mampu membuata adiknya sendiri kehilangan
harapannya. Leli mengangguk mengiyakan.
Tidak
terasa perjalanan setengah jam, telah terlewati. Kini sampailah Leli di depan
pintu gerbang smpnya. Karena acara ini hanya dilakukan kelas VIII E, jadi
jelaslah suasana tidak terlalu ramai. Lagi pula, hanya satu hari. Terlihat
banyak teman-temannya sudah menunggu. Leli bergegas masuk setelah mobil ayahnya
pergi. Setelah bergabung dengan gerombolan di tengah lapangan itu, ia melihat
Heru sedang berbicara. Namun, lebih tepat lagi berteriak-teriak lengkap dengan
speaker sehingga ia nampak sedang berorasi. Sepertinya semuanya sudah siap
berangkat.
“Ya,
teman-teman. Berhubung ketua kelas kita datengnya paling telah, udah diketahui
keberadaannya, jadi? Kita mulai wisatanya!!!”, ucap Heru menggebu-gebu seperti
akan perang saja. Tetapi tetap saja, terselip sindiran untuk Leli.
Dengan
semangat yang sempat tergores oleh perkataan Heru, Leli masih bisa tersenyum
dan melalui perjalanan dengan baik. Ia duduk bersama Gina yang memang teman
sebangkunya. Puluhan kilometer diterjang habis oleh bus pariwisata dengan
kecepatan yang terbilang cukup ekstrim. Untuk mereka yang tinggal duduk manis,
memprotes sopir bus yang nampak garang adalah tidak mungkin. Untuk mengusir
rasa takut akan kebut-kebutan seluruh kelas VIII E bernyanyi yel-yel kelasnya
serempak. Selama sang sopir tidak terganggu, apa salahnya? Tidak lama nyanyian
mereka terhenti, lantaran merasa bus itu tidak berpindah tempat. Yap, mereka
sudah tiba! Terjadilah aksi saling dorong dan teriak-teriak ketika mereka semua
ingin keluar bus secara bersamaan, begitulah jika terlalu kompak. Setelah
seluruh siswa menginjakkan kaki di tempat itu, seperti biasa Heru bekerja
memberikan intruksi.
“Alhamdulillah,
kita telah sampai dengan selamat. Selanjutnya, kita akan segera bergerak menuju
air terjun. Untuk menjaga keselamatan, kita akan dibagi menjadi beberapa
kelompok. Silahkan kalian mengambil gulungan kertas untuk menentukan
kelompoknya. Dan diharap kalian tidah menjauh dari kelompok lain karena itu
berbahaya! Sekian dan selamat bersenang-senang guys!”, Heru masih saja setia dengan speakernya itu.
Leli
dan yang lainnya buru-buru mengambil satu gulungan kertas. Sembari berharap
bahwa partnernya kini bukannlah seorang monster ataupun si algojo itu. Semua
siswa membuka gulungan itu, sesekali tampak satu dua anak yang curi-curi
pandang ke teman sebelahnya. Leli melihat isi gulungan itu bertuliskan ‘Maaf’,
mungkin pilihannya berupa kata-kata baik dan bijak yang terlalu mainstream.
Secepat mungkin Leli harus menemukan anak dengan tulisan yang sama. Namun tidak
ada. Aneh sekali. Hampir saja Leli menyerah, ia melihat Heru sedang menata
tas-tas teman-temannya yang berantakan. Leli menghampirinya.
“Dapet
apa, Her”, ucap Leli ketus.
“Dapet
tugas ngerapiin tas. Kamu sih jadi ketua kelas nggak tanggung jawab. Bantuin
nih!”, perintah Heru, Leli tidak bisa menolak.
“Dapet
apa Her?”, tanya Leli sekali lagi.
“Dapet
apanya? Oh.. yang kertas ya? Belum kubuka tuh, buka aja kalau berminat”
“Baru
nyambung rupanya. Duh jangan sampai deh sekelompok sama bocah kaya gini”, desah
Leli lirih dan menggapai gulungan kertas yang Heru maksud. Mata Leli
terbelalak.
“Sama!
Kok bisa sama, Her? Nih tulisannya ‘Maaf’ sama kan?”, ucap Leli panik. Heru
angkat bahu.
“Mana-ku-tahu.
Oh ya, berarti kita Cuma berdua, Le”
“Berdua
dengan si algojo? Ya Allah kuatkanlah hamba-Mu ini”, doa Leli dalam hati.
“Berdua
gimana? Yang lainnya pada berempat kok”, tepis Leli.
“Yeh,
kamu nggak nyadar dua anak nggak ikut acara ini? Ituloh si Dinda sama Haris.
Trus pas aku lihat gulungan yang sisa, di sana dua-duanya bertuliskan ‘Maaf’,
jadi kita terpaksa berdua doang”
“Oh”,
ya begitulah yang namanya nasib. Leli harus berhadapan dengan Heru seorang
diri.
Sepanjang
perjalanan mencari air terjun, Leli selalu berjalan di belakang Heru. Ia tidak
ingin menunjukkan kekagumannya akan pemandangan di hutan itu kepada Heru. Jaga
image adalah kata kuncinya. Karena Leli pernah mengecap tempat seindah ini
sebagai tempat menyeramkan penuh bahaya tepat di depan Heru. Tapi kini, Heru
memang benar, hutan ini sudah ada jalurnya sendiri. Dengan pemandangan yang
nggak tanggung-tanggung, penuh pohon penuh oksigen. Juga ada sebuah sungai yang
mengalir yang kemungkinan pangkalnya adalah air terjun yang mereka cari.
Perjalanan ini bukan hanya melintasi hutan belakan. Mereka harus merelakan
sepatu dan bawahan mereka basah. Karena jalus yang telah dibuat mengharuskan
pengunjung meyusuri sungai yang panjang itu sesekali. Sungai yang jernih,
indah, segar airnya, namun siapa tahu ada bahaya di dalamnya. Walaupun tengah
terpesona dengan hutan itu, pandangan Leli juga mengenai punggung Heru. Dari
belakang nampak Heru sedang mencatan di buku kecilnya. Mirip buku diary saja. Namun
dengan mengawasi Heru dari belakang seperti ini, tidak akan merubahn sikap Heru
pada Leli. Sering sekali Leli terpeleset karena sepatunya dan Heru tidak
menoleh apalagi menolong. Ketika Leli memekik kedinginan pada saat kakinya
menyentuh air sungai Heru tak bergeming sedikitpun. Seolah-olah hanya ada satu
arah, ke depan! Leli mulai geram dan mulai menjauh ke belakang dari Heru. Itu
juga Heru tak menyadarinya. Kini, Leli berada di barisan paling belakang
bersama Feza dan Galih. Mereka enak sekali diajak berbicara. Nyambung tentunya,
tidak seperti si algojo itu. Leli menjadi semakin menikmati suasana.
“Eh,
Le? Kamu kok malah ke belakang gini sih? Kamu kan kelompoknya bareng Heru.
Entar kalau kamu kenapa-kenapa pasti Heru yang kena deh”, celetuk Feza.
“Biarin,
Za. Salah siapa nyuekin ketua kelas. Biar tahu rasa.”, jawab Leli santai.
“Jadi
kamu ngambek nieh? Trus kita buat pelampiasan gitu?”, ledek Galih sembari
menunjuk Feza.
“Mung-kin”,
Leli nampaknya gampang akrab dengan anak-anak seperti Feza dan Galih,
“Jangan
ngaco, Gal. Kita? Kamu aja kali, aku mah ogah.”, sahut Feza setengah mengejek.
Suasana menyenangkan seperti inilah yang Leli harapkan, andai partnernya itu
bukan Heru si cuek, eh rupanya ada julukan baru.
Lagi
senang-senangnya Leli mendapatkan partner baru, pikirannya terusik kembali. Ia
melihat seekor monyet bergelantungan di atas pohon tentunya. Monyet itu sedang
memegang sebuah buku diary eh buku saku maksudnya. Terlalu rajin bagi seekor
monyet sampai membawa buku saku begitu. Hingga Leli pun teringat akan Heru.
Hingga Leli pun teringat akan Heru. Setelah dianalisis buku itu memang milik
Heru! Ingin Leli menyaksikan ekspresi khawatir Heru saat menyadari bukunya
hilang. Namun dengan jarak yang jauh? Mustahil bukan? Ia urungkan melihat hal
konyol dambaannya itu. Segeralah ia mengikuti monyet itu pergi. Keuntungan Leli
adalah Feza dan Galih tidak menyadari kepergiannya. Cepat-cepat Leli mengejar
monyet yang lihai itu. Leli harus mengalami maratonnya meski di hutan. Bebeapa
saat kemudian, Leli sedang bersembunyi, lebih tepatnya menyusun rencana. Ia
melihat monyet itu sendirian. Ia tidak boleh kehilangan jejak. Karena hal itu
membuat usahanya mengejar monyet pencuri itu sia-sia. Perlahan sembari masih
memikirkan rencana, didekatinya monyet itu. Tiba-tiba Leli mengeluarkan sebuah
pisang. Tentu itu adalah bekalnya. Diming-imingkan pisang itu. monyet tersebut
tampak tergiur. Langsung saja dilemparkan buku saku itu, dan diambillah pisang
dari tangan Leli. Langsung mengerti rupanya. Takut mengambil resiko bekalnya akan
habis dirampas oleh monyet itu, Leli berlari menjauh hingga cukup jauh dari
kedudukannya semula. Menyadari dirinya telah jauh dari rombongan kelasnya, Leli
hanya bersikap tenang. Tidak seperti kebanyakan orang normal yang ketakutan,
menjerit-jerit, jongkok sambil menangis, atau mendramatisir keadaan dengan
hal-hal aneh. Ia lebih memilih duduk di sebuah batu besar di pinggir sungai.
Itulah sebabnya Leli merasa tenang, karena tempat ini dilewatinya tadi. Jadi,
Leli tidak tersesat.
Merendam
kakinya yang pegal ke dalam air sungai rasanya sangat nyaman. Sesekali ia
bermain air sendirian, kedinginan sudah pasti. Namun kalah oleh rasa takjupnya
pada pemandangan yang ia lihat. Sungai dihadapannya ini nampak sangat besar.
Airnya yang kebiru-biruan menjelaskan betapa dalamnya sungai itu. Arusnya tidak
deras, jadi aman-aman saja. Karena sudah terlanjur jauh, Leli tidak berminat
menyusul temannya apalgi seorang diri. Menikmati pemandangan sungai besar itu
sudah cukup untuknya. Tiba-tiba saja adrenalinnya terpacu, ia menyadari ada
sesuatu menyentuh punggungnya. Wah, apa itu ular? Kalajengking? Atau monyet
yang ia tinggalkan tadi? Banyak sekali hewan di hutan itu. Namun sekali lagi
Leli terlihat tenang, meski berpura-pura. Jika dilihat lebih fokus lagi,
sesuatu itu bukan binatang tetapi sebuah kain. Lebih tepatnya jaket! Berarti
ada seseorang di belakang Leli. Pikiran yang terlalu sering dilatih berburuk
sangka pun, memunculkan kemungkinan yang menakutkan. Mulai dari, seorang
penculik? Pembunuh berantai? Atau orang gila yang tersesat? Musnahlah pikirang
itu ketika ia mendengar suara Heru di belakngnya. Reflek Leli kaget dan hampir
saja nyebur ke sungai. Dengan sigap Heru menarik tangan Leli sebelum terlambat.
Dibantunya Leli berdiri.
“Le,
bikin susah orang aja. Napain sih ngetem di sini? Tuh temen-temen ribut semua,
padahal lagi asiknya foto-foto di air terjun”, kesal Heru. Sudah sampai
rupanya.
“Trus
juga, kenapa tadi kamu ngejauh sih? Pas di sini pula. Emang aku dikira nggak
tahu apa?”, sambung Heru. Ternyata Heru menyadarinya? Ya memang tepat di dekat
batu besar itu Leli mundur ke belakang dan bergabung bersama Feza dan Galih.
“Ya
udah, ayo buruan gabung ke sana. Kalo kamu tetep di sini kamu bakalan nyesel!”
“Eh,
Her air terjunnya gede nggak?”, tiba-tiba ucapan itu keluar begitu saja.
“Gede,
gede banget malah!”, jawab Heru ketus.
Tanpa
basa-basi mereka segera melakukan perjalanan ulang. Sama seperti sebelumnya,
Leli terkagum-kagum melihat pemandangan yang belum sempat ia rasakan. Misalnya,
tebing-tebing yang tidak terlalu tinggi, yang seolah-olah membentengi jalur
perjalanan itu. Keadaan yang masih sangat sejuk walaupun jam sudah menunjukkan
pukul dua belas siang. Cukup lama mereka berjalan, akhirnya terdengarlah
keramaian yang tak lain adalah teman-temannya. Senyum sumringah diperlihatkan
oleh Leli. Ia menyaksikan pemandangan yang jarang sekali ia temukan. Air terjun
itu dikelilingi oleh tebing yang hampir membentuk lingkaran utuh. Tidak utuh
karena jelas sebagai jalur masuk ke kawasan itu. Di sana tampak lebih gelap.
Cahaya matahari yang terpancar hanya dari arah atas. Kedua mata Leli terasa
terobati dan matanya terpaku pada air terjun itu. Mulutnya menganga
terheran-heran. Air terjun yang ia bayangkan sangat besar, dengan ketinggian
supernya tiba-tiba berubah 1800. Di hadapannya tersanding air terjun
kecil dengan ketinggian hanya tiga meter. Leli kecewa di tempat.
“Jangan
melongo gitu, Le. Nanti kemasukan batu, lho.”, ledek Heru yang berada di
samping Leli.
“Kamu
bohongin aku ya?”, selidik Leli menatap mata Heru setajam mungkin.
“Tapi
kan supaya kamu senang. Bukan begitu?” Leli mengangguk. Tetapi tetap saja ia
tidak suka dibohongi.
“Oh,
ya sekarang kamu jelasin kronoligi kejadiannya. Sampai kamu ngetem di batu gede
tadi!”, pinta Heru memaksa.
“Tanya
aja sama nih buku!”, ucap Leli ketus. Heru tampak bingung.
“Jadi,
tadi aku udah cape dicuekin terus. Aku gabung deh sama Feza di belakang. Eh
lagi seneng-senengnya, ada monyet yang lagi bawa tuh buku. Kupikir itu monyet
terpintar yang sanggup menulis kaya manusia. Setelah ku analisa, itu buku
punyamu kan? Jiwa persahabatanku muncul deh. Ya, walaupun harus lari maraton
akhirnya bukumu bisa aku ambil. Pas aku balik, malah sampai di batu besar tadi.
Dari pada ngelanjutin seorang diri, mending duduk-duduk kek. Pemandangan di
sana juga bagus.”, oceh Leli mirip ibu-ibu arisan. Heru tampak bersalah.
“Sorry
ya, Le. Bukannya aku cuek. Aku nggak mau nambah masalah kalau aku ngajak kamu
bicara.”, ucapan Heru ini membuat Leli tersentak. Menambah masalah?
“Jadi
memang benar, kalau aku terlalu berlebihan menanggapi Heru? Ya Allah bagaimana
bisa aku tega seperti ini?”, sesal Leli dalam hati terdalamnya.
“Her...
Maafin aku ya?”, desah Leli lirih.
“Apa?
Kamu ngomong apa Le? Yang keras dong.” Pura-pura tidak mendengar rupanya.
“Aku
minta maaf Her!”, jerit Leli yang sontak membuat teman-temannya terdiam.
“Iya!
Aku minta maaf! Aku egois, nggak mau ndengerin kamu! Tadi kamu udah nologin aku
kan? Aku ngerasa bersalah Her!”, jelas Leli yang tidak mempedulikan
teman-temannya yang terdiam tidak percaya, dan air matanya sedikit menetes.
“Aku
jadi terharu, Le” Masih sempat-sempatnya Heru becanda.
“Iya
aku maafin. Aku juga minta maaf ya Le. Jaketmu, tadi aku laundry. Soalnya bau
banget sih.”, pernyataan Heru yang sangat dinantika oleh Leli, dengan akhiran
mengejek?
“Nggak
papa kok, Her. Oh ya makasih jaketnya. Aku pinjem dulu boleh?”, tutur Leli yang
nampaknya tidak marah. Ia juga berusaha ngomong baik-baik pada Heru. Heru
mengangguk.
“Jadi?”,
tanya Heru.
“Jadi
apa?”, jawab Leli polos.
“Kita
baikan? Mau nggak?”, ajak Heru. Leli mengangguk mantap sembari tersenyum.
Senyum yang bahkan belum pernah dilihat oleh Heru.
“Cie,
yang udah damai nih!” “Makanya jangan musuhan dong” “Baikannya yang lama yah!
Biar nggak bikin ribut”, itulah celoteh-celoteh siswa kelas VIII E. Mereka
merasa lega bisa melihat perdamaian di antara Leli dan Heru.
“Guys!
Ayo kita foto bareng!”, seru Heru menggema di antara tebing itu.
“Eh
ada turis tuh. Ajak dia dong”, pinta Heru pada Hisa yang pintar bahasa Inggris.
Hisa menurut. Dipanggillah turis itu, dan ia meminta untuk ikut berfoto
bersama. Entah ungkapan seperti apa yang digunakan. Si turis pun mudah
mengerti. Jepret.
Atmosfer
kebahagiaan menyelimuti di air terjun itu. Air terjun yang menjadi saksi
pengakuan Leli dan Heru. Juga persahabatan mereka. Kini, hidup Leli menjadi
lebih tenang. Walaupun terkadang masih berseteri dengan Heru. Tetapi itu
dianggapnya becandaan belaka. Hingga suatu hari ia menemukan sebuah foto di
loker mejanya. Foto itu adalah foto di air terjun yang terlihat keramaiannya.
Di sela-sela itu, Leli terlihat bersebelahan dengan Heru. Mereka menunjukkan
senyum terlebar mereka. Tidak terlihat tanda-tanda permusuhan.
“Air
Terjun Perdamain. Tempat ketua dan wakil ketua kelas kami berdamai dan menyambung
persahabatan. Leli dan Heru bersahabatlah selamanya. Salam Heru.”, Leli tertawa
membaca kalimat terakhir di balik foto itu. Ternyata Heru yang mengirimnya.
Semenjak saat itu, hubungan mereka berdua berubah drastis. Semakin membaik
seiring berjalannya waktu.
_Tamat_
Tinggalkan jejak guys!
[CERPEN] Duel
Morning guyss... aku kembali nih..
Kesempatan kali ini aku mau ngeposting cerpen lagi..
Happy reading guysss.. ^_^
Duel
Bel
berdering, menggema di langit biru yang nampak cerah. Seluruh siswa kelas VII
dan VIII berhamburan. Mereka mencoba mendapat posisi pertama meninggalkan
kelas. Ribut dan berdesak-desak. Terdengar teriakan anak perempuan yang
histeris dan dramatis ketika terdorong-dorong bahkan ada saja yang saling
menginjak. Guru-guru yang sudah jelas bergabung dengan gerombolan anak tak
berperikesabaran itu hanya geleng-geleng dan berkali-kali memberi nasehat. Kemungkinan
kerongkongan guru-guru itu mulai kering karena tak satupun siswa yang
mengindahkan nasehatnya.
Berbeda
dengan adik-adik kelasnya yang terbilang agresif ketika mendengar bel,
anak-anak kelas IX telah pulang dengan damai tanpa ada kemacetan yang terkadang
membuat guru killer pun tak bisa berkutik. Jauh dari kemacetan itu, tepatnya di
koridor kelas IX yang berada di lantai tiga Meida sedang duduk lesu di depan laboratorium
fisika. Meida menari-narikan pensil dan penghapusnya secara bergantian pada
secarik kertas putih yang dipegangnya. Entah apa yang dikerjakan anak itu,
nampaknya sangat serius. Sesekali terlihat ia berkomat-kamit layaknya
menghafalkan berbagai mantra-mantra sihir lalu tiba-tiba ia mengisyaratkan rasa
frustasinya dengan membuang napasnya dengan berat.
“Hei, Da. Sendirian
aja, mau aku temenin?”, sapa Fera sambil menggandeng dua temannya, atau bahkan
lebih tepatnya em... anak buah mungkin.
“Eh, kamu Fer.
Thanks, ya. Tapi aku udah susah-sudah nyari tempat sepi begini, kalo kamu
gabung percuma kan?”, ungkapku dengan nada seramah mungkin berusaha menyuruhnya
meninggalkanku sendiri.
“Hehe, sorry.
Ngomong-ngomong lagi ngapain nih? Dari tadi aku perhatiin kok kaya marah-marah
nggak jelas. Hati-hati entar kesambet lo, Da.”
“Cuma lagi
menjalankan amanatnya si Arlin, aku nggak akan macem-macem kok.”
“Amanat dari si
killer itu? Kalo nggak salah buat nggantiin si Bian bukan?”, celetuk Rena yang
terkadang termasuk anak yang paling hapal breaking
news di SMP itu. Meida mengangguk.
“Kenapa nggak Arlin
aja yang nggantiin, Da? Dia kan ketua kelas dan bertanggung jawab sama masalah
gituan.”, tanya Fera ingin tahu. Meida mengangkat bahunya tanda tak mengerti.
“Tapi kan ini lomba
baca puisi, kalo nggak salah nih si killer itu anak yang pemalu tahu, atau
bahkan takut malu-maluin?”, sahut Rena yang sok tahu itu.
“Kamu tahu dari
mana, Ren? Jangan asal nyembur gitu kalo nggak jelas sumbernya.”, Hisa yang
dari tadi bermain hp itu tiba-tiba ikut nimbrug. Rena kalah telak.
“Trus, mana
puisinya, Da? Coba lihat dong.”, pinta Fera dengan senyum lebarnya. Meida
memperlihatkan secarik kertas yang putih bersih, hanya saja mungkin ketebalan
kertas itu sudah menipis. Bagaimana tidak? Dari tadi penghapus merah bergambar
angry bird itu telah menggilas berulang kali. Ketiga cewek di depan Meida itu hanya
berdecak dan menggeleng tidak percaya melihat kertas itu masih kosong kecuali
bagian ujung atas sebelah kiri yang bertuliskan ‘Meida Alina’.
“Loh, masih
kosong?”, kaget Rena.
“Ku kira kau sudah
selesai, Da. Berhubung tadi kan kelas bubar satu jam yang lalu. Apa tidak ada
satu bait pun yang kau ciptakan?”, sambung Hisa.
“Aku pengen bantu
kamu, Da.”, ucap Fera sembari melemparkan tatapan iba pada Meida.
“Aku nggak papa
kok, ini juga lagi nyari inspirasi. Dari tadi pikiranku lagi nge-blank, aku khawatir kalau Bian belum
sehat juga. Masa sudah satu minggu masih belum kelar sakitnya.”, jawab Meida
berusaha menyembunyikan rasa khawatir dan kesalnya karena mendapat tugas
dadakan dari ketua kelasnya yang killer itu.
“Cie mikirin
Bian.", goda Rena.
“Apaan sih. Aku
khawatir kalau sampe besok Bian nggak berangkat kali. So, itu berarti aku harus
ngejalanin perintah itu kan? Udah gitu puisinya belum jadi lagi.”, gerutu Meida
meratapi nasibnya dan sedikit merasa malu karena membuat teman-temannya itu
salah paham akan rasa khawatirnya pada Bian.
“Ok, sudah bulat
tekadku, Da! Aku mau bantuin kamu”, seru Hisa bersemangat.
“Tunggu-tunggu kamu
mau apa barusan? Bantuin Ida? Kamu baca puisi aja kaya orang kumur-kumur alias
nggak jelas, apalagi bantu buat. Bisa-bisa nanti yang keluar bahasa alien lagi.
Hahaha”, ledek Rena pada Hisa. Mereka pun tertawa mendengar pernyataan Rena.
“Siapa bilang mau
bantu buat. Aku mau bantu doa kali!”, tepis Hisa. Kini Hisa yang tertawa penuh
kemenangan dalam hatinya membalaskan ledekan Rena.
“Sssttt, kalian
berdua! Udah deh, kasian Meida. Bukannya dibantuin malah ribut sendiri. Tuh
konsentrasi Meida ilang gara-gara kalian.”, omel Fera pada kedua anak itu.
“Maaf, Da.”, ucap
mereka lemah. Meida hanya tersenyum dan mengangguk.
“Eh kita ada les.
Meida kami pulang dulu ya”, ucap Fera seraya beranjak dari lab fisika.
“Semoga cepet
ketemu Bian! Biar nggak nge-blank
terus. Haha”, sahut Rena dengan nada cekikikan.
“Konyol banget
doamu Ren!”, celetuk Ida pada Rena.
“Bye bye! Jangan
lupa bantuannya! Bantu doanya ya His!”, teriakku dari lantai tiga ketika
melihat mereka bertiga kini telah menginjakkan kaki di lapangan basket. Mereka
mengacungkan jempol serempak.
Suasanya kembali hening. Sama
seperti sebelum ketiga temannya itu menghampiri Meida. Gelisa dan takut, ibarat
salad yang tercampur kuat dengan mayones. Gelisah, karena puisinya belum saja
terlahir dari pikirannya. Juga takut, karena Bian teman akrabnya yang belum
juga kembali dari rumah sakit. Tidak ada yang tahu apa penyebab Bian masuk RS,
entah kecelakaan entah sakit dan masih ada entah-entah yang lainnya yang jelas
mengganggu pikiran Meida. Hanya desas desus yang ia dengar.
Hari nampak semakin sore. Meida
tidak menyadari banyak waktu terbuang lantaran pikirannya yang kacau. Ia juga
membiarkan dirinya sedari tadi seorang diri di depan lab itu tanpa seorang pun
yang menemaninya. Yap, Meida adalah anak pendiam yang sedikit cerewet pada
waktu tertentu saja. Menikmati kesendirian dengan pikiran yang entah berpusat
di mana, mungkin makanan Meida setiap hari. Namun, belakangan ini ia mulai
mengubah sikapnya. Ia berharap ia bisa bergaul dengan banyak anak lagi,
terutama tiga anak yang tadi sempat menghampirinya itu dan tidak ketinggalan
pula Arlin dan juga Bian.
Siapa yang menduga, Arlin si ketua
kelas killer itu memilih duduk dengan Meida yang sebenarnya adalah anak
pindahan ketika ia memasuki kelas VIII dibandingkan teman-temannya yang lain.
Ketika ditanya oleh orang-orang kepo yang berkeliaran di sekitarnya Arlin hanya
menjawab dengan santai ‘Kan orang killer harus berdampingan dengan orang
kalem’. Lucu memang anggapan Arlin itu, namun Meida perlahan menyadari sisi
lain dari Arlin. Setiap saat ketika duduk bersama Arlin, ia mulai yakin bahwa
sang ketua kelas itu sangat baik padanya. Hanya saja, jika perintahnya tak
terkabulakan ia akan marah besar. Meida tertawa ketika kenangan itu tiba-tiba
terlintas di pikirannya. Dan ia merasa hpnya bergetar, ternyata kakaknya telah
menjemput dan sedang menunggu di dekat halte depan SMPnya. Bergegaslah Meida
menuruni anak tangga dari lantai tiga ke lantai pertama, lelah memang.
“Sorry, kak. Tadi
di lantai atas.”, ucap Meida sambi nyengir memohon ampun pada kakaknya yang
telah memasang wajah judes.
“Eh, kak. Sore ini
kakak cantik banget nih.” namun kakaknya tak menanggapi rayuan Meida itu.
Ternyata sudah tidak mempan.
Dengan secepat kilat, Meida telah sampai
lalu masuk ke dalam area rumahnya yang luas itu. Luas dan sederhana penuh
dengan warna hijau yang diberikan rerumputan dan pohon-pohon di tamannya.
Nampak mamanya yang tengah menyirami bunga-bunga anggrek kesukaan Meida,
terutama yang warna putih. Tanpa membuang waktu, Meida segera menyapa mamanya
dan masuk ke dalam rumah dan berharap waktu yang tersisa untuknya masih banyak,
waktu untuk menyelesaikan puisi tentunya.
**
Namun apa daya, malam itu mati
lampu. Perasaan Meida semakin kalang kabut. Pagi-pagi yang sangat pagi, ia
bangun dan telah siap di depan meja belajarnya. Tidak ketinggalan secarik
kertas yang tak kunjung mendapat suplai tulisan itu. Pikirannya masih alot jika
pagi-pagi saja sudah dipaksa berfikir, walaupun ia terkenal sebagai anak cerdas
di SMPnya itu. Meida hanya berharap banyak supaya tulisan itu memiliki
inisiatif untuk muncul sendiri *hal yang
mustahil bukan?.
Jam weker bergambar angry bird itu telah
menunjukkan pukul tiga pagi lengkap dengan mata melototnya. Meida masih saja
berkutat dengan bolpoin itu yang mungkin sudah sesak napas karena Ida
mencengkramnya dengan kuat. Sesekali keringat Ida menetes karena saking
kerasnya ia berfikir untuk menuju garis final puisinya itu. Memilih tema
lumayan sulit, terlebih pikirannya sekarang masih kacau. Namun kekacauan
pikirannya itu, memberikan ide. Yap! Menjadi bahan membuat puisinya.
“Kegelisahan yang
berguna!”, desah Ida sangat lirih.
Tak butuk waktu lama seperti
sebelumnya, kini tangan Ida lihai memainkan bolpoinnya. Kata-kata yang
dituliskannya sangat bagus. Bagaimana tidak? Kata-katanya saja keluar dari
hatinya. Tentulah orang yang membacanya akan tersentuh dan seolah-olah ikut
merasakan apa yang dirasakan Ida, kehilangan!
Meida tersenyum sumringah semacam
orang menang undian ketika melihat deretan kalimat-kalimat puitis dengan judul
“Sahabat, Kau Hilang” itu. Jika ini siang hari, ia berniat berjingkrak-jingkrak
kegirangan. Namun, ia tahu diri dan tahu suasana. Jelas tak mungkin pagi-pagi
buta menimbulkan keributan. Siap-siap saja Meida mendengarkan ceramah kakaknya
yang hampir mirip amanat dari kepala sekolahnya yang panjang lebar. Meida
bergidik ngeri kalau hal itu sampai terjadi. Di tengah kegembiraannya yang
tiada tara itu, hpnya membunyikan dering yang membisingkan. Disambarnya hp yang
tergeletak di atas kasur. Tiba-tiba Meida tersenyum selebar mungkin melihat
nama yang ada di layar hpnya itu. Bian nelpon!
“Assalamu’alaikum. Halo,
Bi! Kamu udah sembuh? Kamu sakit apaan sih kok nggak sembuh-sembuh? Udah pulang
ke rumah belum? Oh ya, nanti kamu harus berangkat! Pokoknya harus, nggak ada
tapi-tapian! Karena kalo kamu nggak berangkat, bisa-bisa aku harus nggantiin
kamu. Udah puisinya baru kelar, nggak bagus-bagus amat pula*bohong. Aku tunggu lho, awas kalo nggak
berangkat!”, ucap Meida tanpa mempedulikan Bian untuk berbicara dulu. Entah
saking senangnya mendengar suara Bian, atau saking keponya seorang Ida mengenai
teman akrabnya itu.
“Wa’alaikumsalam. Hey,
selow mba bro. Langsung nyerocos aja. Haha lo kepo ya? Apa kangen sama gue?”,
terdengar jawaban Bian sangat jelas karena keadaan kamar Meida sangat sepi.
“Nggak
kangen-kangen amat sih. Makanya berangkat dong! Tugas numpuk, udah gitu kamu
yang nggak berangkat aku yang kena batunya. Aku jelasin lagi ya, tuh amanat
dari Arlin sekarang berpindah tangan. Aku yang nanggung semuanya, aku
bela-belain bangun tengah malem buat bikin tuh puisi, alhasil baru selesai dan
hasilnya kamu tahu sendiri kan.”, sekarang pembicaraan Meida mulai menjurus
pada sesi curhat.
“Jadi lo nggak mau
bantuin gue, Da?”, suara Bian mulai melemah. Meida yang mendengarnya mulai
salah tingkah *merasa bersalah. Dia
pun mencoba menemukan kata-kata yang pas untuk meluruskan kembali maksud omongannya
itu.
“Mau-mau aja sih,
malah mau banget, Bi. Hanya saja waktu tidak berpihak padaku. Andai aja si
Arlin nyuruh jauh-jauh hari, pasti akan kuterima tawarannya. Lah, dia baru
ngomong kemarin kok.”, tegasku dengan nada yang sedikit direndahkan.
“Tapi, kayak ada
yang salah deh dari omongan lo yang super panjang tadi. Puisinya lo bikin
sendiri? Ck ck ck, nggak kali, Da. Puisinya udah ada di Arlin. Waktu itu gue
udah sempet buat, tapi tinggal guenya besok sempet baca apa nggak.”, ekspresi
Ida berubah geram mendengar penuturan dari Bian barusan. Apakah Arlin berniat
mempermainkan Meida? Atau ada alasan lain yang logis?
“Oh, jadi kamu udah
buat. Ya nggak papa sih, itung-itung untuk mengasah kemampuan puitisku. Haha”,
sahut Ida berusaha tidak terlihat kesal.
“Tapi besok bawa
aja, siapa tahu bagusan punya lo. Tenang aja, setiap karya pasti ada
harganya.”, suara Bian terdengar seperti guru BK sedang menasehati muridnya yang
suka berulah. Ida mengangguk tanpa sepengetahuan Bian.
“Ya udah, Bi. Kamu
istirahat aja, tapi inget! Nanti kalo kamu nggak muncul, awas aja!”, ancam
Meida yang nampak lebih menakutkan dari ancaman sang ketua kelas mereka.
“Siap, bos!”, Meida
hanya tertawa geli mendengar ucapan Bian yang layaknya sedang disuruh-suruh.
“Wassalamu’alaikum,
Da”
“Wa’alaikumsalam,
Bi”
Percakapan itupun berakhir cepat.
Namun, kini Ida sudah mendapat suatu kepastian. Bahwa puisi yang dibuatnya itu
hanya sedikit kemungkinan untuk dibacakan, dan juga orang yang sudah
ditunggu-tunggunya di kelas setiap hari, besok akan menyapanya seperti yang
terjadi satu pekan lalu.
**
“Hy, Da!”, sapa
Arlin dengan senyumnya yang sangat manis, yang terkadang hati Meida pun luluh
karenanya. Apalgi anak cowo?
“Hy, juga Lin.”,
Ida menjawab dengan lesu karena yang menyapanya bukan Bian. Hal ini terjadi
mulai setengah jam yang lalu. Hampir seluruh teman sekelasnya menyapanya karena
posisi Meida yang seperti menghadang di depan pintu, yang mau tak mau temannya
harus memberikan sapaan. Namun, Meida hanya menyahutinya biasa saja.
“Kucel amat tuh
muka. Kaya aku dong, bersih, putih, tak berminyak, tak berjerawat. Layaknya
iklan garnier tahu.”, ledek Arlin masih berdiri di samping Meida.
“Hello, emang kamu
doang yang kaya pelaku iklan? aku juga kali. Aku before-nya kamu after-nya.
Haha”, inilah keistimewaan Meida. Pendiam, namun apabila sudah dekat akan
sangat mudah diajak bercanda walaupun dia sedang badmood.
“Ya udah, masuk
yuk, Da. Emang kamu mau sampai kapan ngetem di sini? Nggak lagi narik uang kas
kan?”, ajak Arlin yang tak sabar masuk ke kelas.
“Nggak juga sih. Ayo”,
balas Ida.
Mereka memasuki ruang kelas. Nampak Fera,
Rena, dan Hisa sedang piket. Usut punya usut yang piket hanya Fera. Namun
karena gelar ‘bos dan dua pesuruh’ sudah terlanjur diberikan teman-teman pada
mereka, maka apa yang bisa mereka perbuat? Di sinilah Fera mendapat keuntungan.
Meida dan Arlin terkadang masih bingung pada Rena dan Hisa. Mereka sempat salut
pada Rena dan Hisa. Bayangkan betapa setianya dua anak itu pada Fera, sungguh
terlihat seperti jaman-jaman kerajaan dahulu kala.
Tak berselang lama, pelajaran pun
dimulai. Meida belum mendeteksi tanda-tanda Bian di sekitarnya. Di sebelahnya,
Arlin tengah fokus mendengarkan Pak Rafi berceloteh. Ingin ia bertanya pada si
ketua kelas, namun ia tak ingin membuyarkan konsentrasi temannya.
“Lin! Lihat Bian?”,
tanyaku mencegat Arlin yang hendak ke perpus ketika waktu istirahat tiba.
“Nggak, Da. Emang
Bian udah berangkat ya?”
“Tapi, tadi di
papan absen tulisannya nihil kan?”, Meida berusaha memastikan.
“Yah, kamu ini. Itu
kan si Rena yang nggak sengaja nulis pakai spidol permanent. Apa kamu lupa?”,
jawab Arlin sedikit tertawa. Meida mulai paham.
Ok, sekarang Meida sedang dibuat
pusing. Mulai dari masalah lomba, Arlin yang menyembunyikan fakta bahwa
puisinya sudah ada, dan sekarang apa? Sampai istirahat pertama ini Meida merasa
ditipu oleh Bian. Tapi, ia masih berharap Bian tiba-tiba nongol di depannya.
“Meida! Lombanya
udah mulai tuh, kamu siap-siap ya!”, perintah Arlin yang membuatku tersadar
dari lamunan.
“Iya, Lin. Habis
ini aku turun kok.”, sahutku sangat tak bersemangat.
Tangan Meida bergetar sembari
memegangi kertas puisinya. Kini ia sedang menunggu gilirannya. Tapi sebenarnya
bukan itu yang ia pikirkan. Pikirannya masih tertuju pada satu nama. Bian.
Kini, bukan ia tak mau menggantikan Bian, bukan itu alasannya. Namun ada
sesuatu yang menggnjal hatinya. Apakah Bian baik-baik saja? Dia bukanlah orang
yang tidak menepati perkataannya. Semakin lama, semakin tak kuasa Meida menahan
dirinya. Buliran air mata mulai menetes di pipinya, hanya kedatangan Bian yang
kini ia inginkan. Bian yang tadi pagi berjanji pada dirinya, Bian yang dengan
senyum lebar menyapanya di pagi itu. Itulah bayang-bayang dalam harapan Meida.
Namun kenyataannya? Terkadang menyakitkan.
“Ya teman-teman,
kini tiba saatnya penampilan dari kelas IX A, Meida Alina diharap menempatkan
diri.”, merasa namanya dipanggil, reflek Meida langsung melangkahkan kakinya.
“Perkenalkan nama
saya, Meida Alina perwakilan dari kelas IX A.”, ucap Meida sebagai pembuka.
Rasanya Meida sudah tidak kuat lagi
meneruskan hal ini. Namun jika ia berbalik, apa arti dari puisi yang susah
payah dibuatnya itu? kalau bukan ingin meluapkan rasa kehilangannya akan Bian
sahabatnya itu, untuk apa ia berdiri di sana? Berharap Bian datang menolongnya?
Mungkin Meida lelah berharap terus seperti itu. Keberadaan Bian saja ia tidak
tahu, bagaimana bisa ia meminta Bian datang untuk yang kedua kalinya? Melihat
judul puisinya saja, dadanya mulai sesak. Namun jika tidak dilanjutkan semua
berakhir sia-sia bukan?
“Sahabat... kau..
hilang...”, ucap Meida mengawali pembacaan puisinya. Nampak jelas ia mulai
menangis, namun sekuat tenaga ia membaca puisinya.
“Kuharap
kau di sini-Menyaksikanku yang tak berdaya-Menantikan kehadiranmu kembali ke
sisiku-Sebagai sahabat selamnya”, itulah bait terakhir yang dibacakan Meida
masih dengan meneteskan air matanya.
Setelah itu, terdengar gemuruh
tepuk tangan yang memenuhi seluruh SMP. Meida tertunduk lemas, tangisnya masih
terdengar namun kalah oleh meriahnya tepuk tangan yang ia terima. Meida tak
peduli akan tepuk tangan atau bahkan kemenangan. Tetap pada harapannya yang
semula, hanya kedatangan sahabat yang ia maksudkan dalam puisinya tadi. Namun,
tiba-tiba semua berhenti bertepuk tangan. Seperti ada sesuatu yang menyebabkannya.
Meida merasa bahunya ditepuk seseorang.
“Keren banget puisimu, Da. Kalo gitu sih, aku
nggak perlu repot-repot buat”, gerutu seorang cowok yang sangat dikenal Meida.
Itu Bian! Segeralah Meida menghadap ke arah Bian, masih dengan wajah penuh air
mata. Meida tersenyum lebar dalam tangisnya, eh bukan, tangis bahagianya!
“Jangan kelamaan jongkok, Da. Entar kakimu kram.
Ayo aku bantu berdiri.”, ucap Bian mengulurkan tangannya.
Meida
tak bisa berkata apa-apa. Senang, tentu senang luar biasa. Bian yang ia kira
tidak akan datang itu tiba-tiba mengabulkan keinginannya tepat ketika sebuah
klimax dimulai. Meida meraih tangan Bian, dan berdiri perlahan. Mereka berdua
bertukar pandang, dan tersenyum bersama.
“Mau denger puisiku nggak, Da?”, tawar Bian pada
Meida yang sudah bisa mengontrol dirinya. Meida mengangguk.
“Ya, teman-teman semua. Perkenalkan namaku
Febrian Ade, aku juga perwakilan dari kelas IX A. Dan pada kesempatan ini, aku
akan membacakan puisi ciptaanku khusus untuk sahabat di sampingku ini. Tapi,
kalian jangan khawatir, anggap saja puisi ini juga untuk kalian semua, ok?”
“OK!”, seru seluruh siswa dengan semangat.
“Tetap bersamamu”, baru saja Bian membaca
judulnya, semua murid sudah bersorak entah karena judulnya menarik atau yang
membacakan yang menarik? *anaknya
ganteng.
Dengan
lancar Bian membacanya tanpa terbata-bata dan diiringi dengan senyumnya yang
menawan, berbeda dengan Meida tadi. Yang puisi sedihnya selalu beriringan
dengan air matanya yang terus mengalir.
“Ku mohon padamu-Jangan
buang air mata itu-Jangan khawatir akan diriku-Karena aku akan tetap di sini-Untukmu
dan untuk persahabatan kita”, ucap Bian mengakhiri penampilannya itu.
Sorakan siswa-siswi pun juga
meriah untuk Bian. Meida semakin percaya pada sahabat di sebelahnya itu. Rasa
percaya akan kesungguhan Bian menjalin tali persahabatan dengan dirinya. Juga
ungkapan Bian pada puisinya itu ‘Karena aku akan tetap di sini’, membuat Meida
semakin mengerti apa itu sahabat.
“Wah, kalian memang andalanku!”, seru Arlin dari
belakang sembari merangkul kedua temannya itu yang ibarat telah mengalami drama
di tengah lapangan.
“Bi, kamu kok baru dateng sih? Bikin orang
khawatir aja!”, bisik Meida masih dalam rangkulan Arlin.
“Siapa bilang aku dateng telat? Orang tadi aku
ngikut UH susulan di kantor guru. Oh ya, aku kan udah bilang, setiap karya
pasti ada harganya. Jadi aku ngasih kesempatan dulu buat kamu. Baru deh,
gantian sama aku. Fair kan?”, jelas Bian yang tak kalah lirihnya dengan Meida.
**
“Tadi itu keren banget loh, Da. Apalagi
kedatangan Bian yang nambah jedar-jeder!”, ungkap Arlina terkagum-kagum melihat
hasil kerja keras temannya itu ketika mereka telah kembali ke kelas. Meida
hanya tersenyum tanpa berkomentar.
“Ya iyalah bagus, orang dianya lagi kangen sama
aku, ya nggak Da?”, ledek Bian.
“Cuma sedikit”, jawab Meida lirih dan sedikit
tertawa.
“Ya udah deh kalau begitu, aku kangen sama kalian
berdua!”, seru Arlina kemudian memeluk kedua temannya. Karena ini di ruang
kelas, jelaslah banyak murid. Murid-murid yang lain nggak mau kalah dari Arlina.
Akhirnya keluarga besar IX A saling berpelukan termasuk wali kelas mereka, Bu
Hilda.
Wah jadi inget teletubies!!! Berpelukan.....
-End-
okay itu dari sayaa.. sorry kalo cerpennya kurrang nggregeettt....
Sekian dan terima G+